Senin, 26 November 2007

lainnya

soal tetralogi laskar pelangi hikzz..!

"Aku ingin mendaki puncak tantangan, menerjang batu granit kesulitan, menggoda mara bahaya, dan memecahkan misteri dengan sains. Aku ingin menghirup berupa-rupa pengalaman lalu terjun bebas menyelami labirin lika-liku hidup yang ujungnya tak dapat disangka. Aku mendamba kehidupan dengan kemungkinan-kemungkinan yang bereaksi satu sama lain seperti benturan molekul uranium: meletup tak terduga-duga, menyerap, mengikat, mengganda, berkembang, terurai, dan berpencar ke arah yang mengejutkan."
"Aku ingin ke tempat-tempat yang jauh, menjumpai beragam bahasa dan orang-orang asing. Aku ingin berkelana, menemukan arahku dengan membaca bintang gemintang. Aku ingin mengarungi padang dan gurun-gurun, ingin melepuh terbakar matahari, limbung dihantam angin, dan menciut dicengkeram dingin. Aku ingin kehidupan yang menggetarkan, penuh dengan penaklukan. Aku ingin hidup! Ingin merasakan sari pati hidup!"
"orang-orang seperti kita tidak memiliki apa-apa, kecuali semangat dan mpmpi. satuhal yang harusnya kita sadari jangan pernah sekalipun kita mendahului nasib".

terus terang saja, awalnya membaca sebuah karya yang di sampul depannya bertuliskan best seler tidak penah sekalipun aku memimpikannya. tapi kali ini aku seperti menjilat ludahku sendiri. dan kata pertama yang aku dapatkan sungguh menarik. ditengah gencarnya sinetron berbicara tentang cinta dan di tengah gencarnya ratusan judul buku yang dikategorikan ciklit ato teenlit, sesosok orang datang dari negeri antah berantah yang bahkan namanya tidak pernah muncul sekalipun dalam dunia tulis menulis di indonesia ini datang dengan membawakan cerita tentang dirinya, tentang kehidupannya, tentang pencarian akan dirinya. seperti sesosok penyihir yang datang dengan mengucapkan beberapa baris mantra kemudian semua yang tidak ada menjadi ada dan yang tidak mungkin menjadi sesuatuhal yang mungkin di datangkan. sungguh mengesankan dan aku sepakat dengan kalimat itu.
aku berpikiran mungkin bila ia menuliskan sebuah buku dalam bentuk biografi tentang dirinya sendiri belum tentu dia bisa di kenal oleh orang-orang yang hidup di indonesia ini apalagi para remaja, dan itu bagi aku sesuatu pekerjaan yang mustahil. sebuah buku yang inspiratif, sungguh sulit ditebak jalan ceritanya dan nggak nyesel dalam waktu 4 hari aku membaca tiga buku karyanya yang baru nyampe ke kampungku. sepertinya memberikan sebuah pencerahan, bukan bermaksud membesar besarkan dari apa yang sudah aku baca dari karyanya.
hah...yang pasti aku ingin bisa membaca langit karena langit adalah kitab yang terhampar di semesta. ia adalah penunjuk arah saat kita tersesat dalam kegelapan, ia adalah saksi yang membisu tentang segala hal yang terjadi di bumi. ia yang menyatu dengan waktu dan bersekutu dengan kedamaian. ia saksi bisu yang tak pernah kita kenali, ia yang selalu menyendiri saat datang pagi walau sebagian mimpi kita tak lagi kita kenali tapi saat malam hari saat kita sendiri tanpa kita sadarai ia sudah menemani kita dengan mimpi-mimpi. ialah cakrawala, ialah semesta.

lainnya

jalan jalan ah...hikzz...!
inilah sesuatu hal yang aku ingat kembali, sepertinya memang pikiranku kembali menjerat diriku untuk mencoba memberikan sebuah arti akan sedikit hidup. tentang sebuah jalan yang baru aku ingat. masih jelas memang dalam ingatanku pada itu malam. aku bertiga dengan sebuah kendaraan speda motor dengan pelat seri B 5279 kl ( maklum saja aku ingat pelat seri motor itu karena dalam seminggu angka itu keluar di nomer buntut dengan acak hikzz..)dengan keisengannya selama perjalanan kami bercakap cakap. saling serang dalam pertanyaan dan saling mencari alasan saat seseorang dari kami tak mampu menjawab akan sebuah pertanyaan. seperti tanpa beban kawan ku bertanya..nah sekarangkan kita dalam perjalanan, lantas yang di sebut dengan jalan itu yang mana? dengan PDnya kawanku menjawab nah itu ( sambil menunjuk tangannya ke jalan yang di bawah ) dengan satainya balasan dari jawaban itu.. yee itukan aspal, sementara jalannya! yang di sebut dengan jalan itu yang mana? aku sendiri berpikir pasti akan butuh waktu untuk menjawab hal seperti itu, bila jawaban yang aku ingin sampaikan harus sesuai dengan apa yang sudah ia harapkan.
jalan adalah proses pengantara antar aku dan mimpiku, harapanku, tujuanku.
jalan adalah sebuah cara agar aku bisa menyadari akan apa yang sedang aku cari
jalan adalah sebuah tanda yang bisa kita "baca" dan tanda tanda itu jelas bisa kita lihat.
jalan adalah sebuah tempat penghidupan bagi sebagian besar orang dan di jalan juga cita cita dijalankan.
jalan seperti sebuah alur panggung dalam kehidupan. pernak pernik lampu sebagai sebuah hiasan, rumah rumah yang berderet di pinggiran jalan adalah sebuah instarasi, properti seperti sebuah panggung pementasan. keberagaman dari berbagai pemeran tentunya bisa kita lihat dari berbagai macam karakter yang mereka mainkan. sungguh hal itu tentunya sangat mengesankan, karena bagaimanapun juga jalan yang terhampar memanjang dihadapan adalah sebuah jalan kehidupan yang harus dilewati oleh setiap orang.
jalan dimanapun tentunya tidak dimanfaatkan oleh beberapa kelompok orang yang memiliki kepentingan akan sebuah jalan itu sendiri. jalan bukan hanya milik negara, yang dengan menggunakan para pasukannya dikerahkan untuk menertibkan para pengguna jalan itu sendiri. rambu-rambu dan marga jalan bukan hanya sebatas dijadikan sebagai sebuah penunjuk arah, surat tilang dari para polantas tentunya bukan cuma soal masalah menertibkan para penggunanya yang melanggar bukan juga cuman soal lampu lampu yang temaram dikala malam saat kita melintas dalam kegelapan.
lebih jauhnya kita akan mengenal sebuah jalan sebagai sebuah spirit kehidupan, nilai-nilai serta norma aturan tentunya dipegang oleh setiap kelompok yang memiliki kepentingan akan jalan itu. para pengemis, para pengamen, para anak jalanan dan orang orang lainnya yang sudah banyak mengenal akan kehidupan dijalan tentunya akan memiliki kesan yang akusendiri mungkin tidak akan pernah percaya akan realitas jalanan sesungguhnya.
kepediah, kebebasan saat aku jenuh berada dalam komunitas masyarakat. kehidupan jalanan tentunya menjadi salah satu sebuah pilihan. kekerasaan menjadi hal biasa, kebaikan serta kesopanan, hal itu tergantung dari kesepakatan akan orang-orang yang ingin mencoba hidup di jalanan. aturan bisa dibicarakan, akan tetapi hukuman bukan untuk dikompromikan. seperti itulah sesengguhnya kehidupan jalanan.
hukum rimba memang jelas berlaku...
mentalitas jalanan tidak bisa disamakan dengan mentalitas sebagian warga yang hidup bersahaja di pedalaman.

Sabtu, 24 November 2007

lainnya

nama nama nama hikzz

Pada setiap epos sejarah dunia dimanapun, kita hanya akan mengenal dan menemukan nama-nama orang besar yang akan menjadi juru selamat. seperti pelita tanpa bahan bakar yang tidak akan dapat menyala. sejarah dunia pada saat ini hanyalah sejarah ”orang-orang besar” ( Thomas Carlye 1963:17 ). Napoleon, Karl Marx, Enstain, Julius Caecar, Hitler, Plato, Herodotus, Descartes, Lenin dll. hanyalah sederetan nama-nama yang sampai saat ini masih bisa kita dengar. tidak hanya itu dalam peninggalan peradaban terdahulu nama-nama orang besar yang memiliki keahlian dan kekuasaan masih kita kenal hingga saat ini. Tembok Cina yang membentang di daratan Cina, kita hanya akan mengenal Dinasti Ming. Candi Borobudur yang berdiri kokoh di Pulau Jawa atau bahkan Candi Prambanan. Ke dua bangunan masih berdiri kokoh sampai saat ini, kita hanya akan tahu Wangsa Syalendra dan Wangsa Sanjaya sebagai golongan elit penguasa yang mendirikan bangunan tersebut. Sementara kita tidak akan mengenal nama-nama tukang yang sudah bersusah payah membuat bangunan megah tersebut.
Keberagamana budaya yang tersebar di Indonesia mulai dari Sabang sampai Merauke secara tidak langsung menjadikan Bangsa Indonesia sebagai sebuah Bangsa yang memiliki kekayaan yang tentunya tidak dimiliki oleh bangsa lain. Sebagai sebuah wilayah kepulauan yang terbagi dalam wilayah Propinsi, memiliki hamparan perairan laut yang luas menjadikan karakter serta tradisi masyarakat yang mendiami setiap pulau yang ada di Nusantara berbeda. Dalam perkembangan kebudayaan yang berbeda-beda ini kemudian dimaknai sebagai sebuah masyarakat yang multi-etnik.
Kabupaten Tangerang sebagai salah satu wilayah dari Propinsi Banten, merupakan wilayah dengan kepadatan penduduk yang cukup banyak dengan jumlah penduduk tahun 2004 mencapai 3.345.523 jiwa yang masuk hak pilih, terbagi ke dalam 26 Kecamatan dan 320 Desa / Kelurahan ( BPS Kab Tangerang 2004 ). Di dalam sejarahnya, wilayah Tangerang sendiri awalnya masuk ke dalam Kerajaan Taruma Negara. kemudian menjadi bagian dari wilayah kekuasaan Kerajaan Padjajaran, lalu Jayakarta yang menjadikan wilayah Tangerang sebagai daerah perbatasan dari wilayah Kesultanan Banten. Pada masa Kolonial yang menjadikan Jakarta sebagai pusat pemerintahan, wilayah Tangerang dibagi menjadi 4 wilayah Kewedanaan yakni Mauk, Tangerang, Curug dan Balaraja ( Dinas Keb dan Permusiuman dki: 2003 ). sisa-sisa kepercayaan baik sejak dimulainya kerajaan Taruma Negara maupun kerajaan Padjajaran dengan agama Hindu-Budha, hingga Kesultanan Banten dengan ajaran Islamnya, memberikan pengaruhnya sampai saat ini dan di dalam beberapa kelompok masyarakat masih banyak yang menggunakan ajaran leluhur dengan menganggap ajaran dari kerajaan Padjajaran ataupun Taruma Negara ( Hindu-Budha )sebagai ajaran leluhur dibeberapa kelompok masyarakat Tangerang.
Perda No. 14 Tahun 1978 membagi tiga wilayah Kabupaten Tangerang yang disesuaikan dengan karakter masyarakat serta kondisi geografis masing-masing wilayah. pertama diorientasikan sebagai daerah kependudukan, perniagaan dan jasa mencakup wilayah Tangerang bagian selatan yang berbatasan langsung dengan Jakarta ( yang tahun 2007 resmi terpisah dengan Kab Tangerang ). wilayahnya mencakup Kecamatan Pamulang, Ciputat, Serpong dll. wilayah kedua sebagai wilayah tengah lebih diorientasikan kepada perkembangan dunia usaha, industri besar maupun kecil dan kependudukan mencakup Kecamatan Tigaraksa, Cikupa, Balaraja, Pasar kemis, Cisoka dll. sementara untuk wilayah bagian utara lebih diorientasikan pada sektor perikanan, kelautan serta pertanian mencakup Kecamatan Keresek, Keronjo, Rajeg, Mauk, Teluk Naga dll. ( yang sedang dipersiapkan untuk membentuk sebuah kabupaten baru dengan nama Tangerang Utara )
Pada masyarakat yang mendiami wilayah Kecamatan Balaraja, yang sebagian wilayahnya dijadikan sebagai wilayah pertanian, penghijauan serta industri dalam kelompok kecil masyarakatnya masih memegang dan menjalankan ajaran leluhur ( nenek moyang ) sebagai sebuah tradisi masyarakatnya. Walaupun sebagian besar ajaran tersebut sudah mengalami pergeseran karena besarnya pengaruh ajaran islam yang dianut sebagian mayoritas masyarakat di Kecamatan Balaraja. Akan tetapi secara tidak sadar ajaran-ajaran leluhurnya masih digunakan dalam keseharian. Misalnya saja hal ini bisa di lihat dari prilaku masyarakat saat seorang anak pergi merantau atau pindah rumah biasanya orang yang pindah rumah tersebut membawa sedikit tanah dari rumah sebelumnya kemudian ditaburkan di rumah yang baru.
Ajaran tersebut juga digunakan dalam memberikan nama pada seorang anak yang dilahirkan. hal ini bisa dilihat baigaimana saat seorang bayi yang di beri nama kemudian mengalami sakit-sakitan atau dalam pertumbuhannya terhambat dianggap tidak cocok dengan nama yang disandang. Seperti yang diungkapkan Reni Sukma dalam bukunya nama terbaik bayi menurut Numerologi, ( Sukma, 2006:3 ). Seorang bayi yang selalu sakit-sakitan setelah diberikan nama oleh orang tuanya, dipercayai oleh masyarakat si anak yang sakit-sakitan tersebut dianggap tidak mampu menyandang nama yang diberikan oleh orang tuanya ( namanya terlalu berat/keberatan nama ) sehingga nama yang sudah diberikan tersebut harus di ganti dengan nama yang lain agar tidak sakit-sakitan. Anggapan ini di perkuat oleh masyarakat dengan adanya kepercayaan akan wilayah ruang ( kosmologi ) dan keberadaan primbon di masyarakat sebagai sebuah pegangan untuk melihat baik-buruknya sebuah nama yang di sandang.
Menurut Ida Sundari Husain dalam ”Semiotika Budaya” ( 2004 : 266 ) mengatakan Nama adalah tanda. Sebagai sebuah unsur, nama yang disandang oleh setiap orang sebenarnya “berdiri sendiri”, akan tetapi kondisi sosial budaya dalam masyarakat dengan tradisi yang berlaku di lingkungan sosialnya memungkinkan keberadaan akan nama memiliki keterkaitan yang erat baik dengan kepercayaan, sosial budaya maupun dengan kosmologi yang berlaku dalam sebuah wilayah masyarakat tertentu. sebagai sebuah kata yang berdiri sendiri maka ia akan memiliki kaitan "yang lebih" dibandingkan dengan unsur lain yang unsurnya lebih sedikit. sebab bagaimanpun juga, sebuah kata akan mengorbankan "hal lain" yang berada di balik kata itu sendiri. sebagai sebuah tanda keberadaan nama tentunya sangat terbuka dan dapat dibaca. Maka akan sangat memungkinkan tanda tersebut akan mendapat interpretasi yang beragam. dan dengan adanya keterbukaan ini mengharuskan sebuah kata tidak bisa di pandang sebagai sebuah tanda yang tertutup dan hal ini sama sekali bukan merupakan sebagai sebuah identitas yang baku.( Cavallaro 2001 : 7 )
Seorang bayi yang belum lama dilahirkan, dianggap oleh masyarakat sebagai manusia yang masih suci, oleh karenanya bila anak yang sakit-sakitan atau terhambat pertumbuhannya ( setelah diberikan nama ) masyarakat menganggapnya si bayi merasakan ketidak-cocokan dengan nama yang sudah diberikan, sehingga si bayi memberikan reaksi dengan sakit-sakitan atau terhambat dalam pertumbuhan tubuhnya. Masyarakat mengenal sebuah nama sebagai sebuah doa yang diberikan orang tua, sebgai identitas diri, sebagai sebuah status sosial dan sebagai sebuah warisan yang diberikan oleh orang tua kepada anaknya. Masyarakat yang mendiami Kecamatan Balaraja juga ada yang mengangap nama sebagai pedoman hidup. hal ini memang banyak tidak di sadari bagaimana sebuah nama menjadi patokan akhir akan perjalan hidup seseorang dan di percaya oleh masyarakat. unsur-unsur yang terkandung dalam setiap nama akan membawa sifat-sifat kita ke arah ( arti dari nama yang disandang ) dengan melewati unsur-unsur yang terkandung dalam setiap nama. unsur dalam nama tersebut yang berbentuk sifat serta sikap diri seseorang dalam menjalankan kehidupan sehari-hari secara langsung akan dirasakan baik secara sadar maupun tidak sadar oleh setiap orang.
Mengenai hal anak sakit-sakitan dianggap karena keberatan nama, Seperti yang dikemukakan Mircea Eliade dalam bukunya: kosmologi bergerak kembali yang abadi ( 2002 : 7 ) menjelaskan, setiap fenomena yang ada di bumi baik yang sifatnya abstrak maupun yang kongkrit sesuai dengan istilah langit. istilah transenden yang tidak dapat dilihat dengan ide dalam artian platonik: setiap hal, setiap pengertian, menampilkan dirinya sendiri degan aspek ganda yang berupa menok ( langit yang bisa dilihat ) dan getok ( langit yang tak bisa dilihat ) serta bumi kita berkesesuaian dengan bumi yang ada di langit. setiap kebijakan yang dilakukan disini memiliki padanannya di langit yang merupakan realitas sejati. pendeknya, penciptaan itu hanya bersifat duplikat.
Untuk melihat baik-buruknya nama biasanya masyarakat menggunakan ilmu palak atau dengan sebuah Primbon yang digunakan oleh masyarakat. hal ini biasanya digunakan Sebagai pertimbangan akhir setelah si bayi yang diberikan nama mengalami sakit-sakitan atau terhambat dalam pertumbuhannya. seperti yang diungkapkan Jakob Soemardja dalam bukunya Arkeologi Budaya Indonesia ( 2002 : 11 ) menjelaskan pada masyarakat tradisi, primbon dianggap sebagai sebuah bagian yang tidak terpisahkan dari keseluruhan tata ruang kosmos yang berhubungan dengan manusia. oleh karenanya waktu yang selalu diidentikan dengan tata tertib kosmos yang "mewaktu" hal ini tidak akan dapat di pahami oleh manusia tanpa melihat ruang. sebagai sebuah catatan-catatan kosmik tentang "waktu" makna kata "neptu" merupakan kata kunci dari primbon yang ada di jawa. "kapan" itu akan menentukan atau memaknai "ruang" kapan relativ dan kapan subjektif setiap manusia. Sehingga wajar bila memberikan nama primbon dijadikan acuan untuk melihat baik-buruknya nama.
Dalam hitungan primbon sebuah nama yang disandang setiap orang akan diketahui sifat serta kecenderungan karakter seseorang, hari baik atau buruknya seseorang juga dapat di ketahui dan bahkan dengan menggunakan primbon juga biasanya melihat kecocokan nama untuk melakukan sebuah hubungan perkawinan baik untuk mencari hari yang baik maupun menetapkan tanggal atau jam pelaksanaan sebuah pernikahan. Hal ini memiliki tujuan yang baik karena untuk kepentingan kesejahteraan ataupun kebahagiaan seseorang dalam menjalankan hidup berumah tangga. Dalam hal dan keperluan yang lain Dengan adanya primbon ini banyak juga orang-orang mengunakan hitungan primbon untuk melakukan hal yang tidak baik ( mencuri atau melukai seseorang ). biasanya para pencuri menggunakan hitungan primbon agar tidak tertangkap, karena primbon juga menjelaskan kearah sebelah mana seorang yang mau mencuri tersebut berangkat agar tidak di ketahui dan hari apa saja sebuah kampung mengalami hari yang na’as, biasanya perhitungan tersebut dilakukan dengan melihat primbon.
Keberatan nama biasanya dilihat dari arti yang dikandung dalam nama itu sendiri yang disesuaikan dengan keadaan sebuah keluarga. serta di perkuat oleh kepercayaan masyarakat tradisi akan kesesuaian dalam hal pengartian sebuah nama dengan kosmologi yang digunakan. pengunaan nama Segoro, Gusti Allah, Dewi Sangga Langit atau yang lainnya. bagi orang tua yang masih memegang ajaran tradisi biasanya tidak memperbolehkan mengenakan atau menyandang nama tersebut karena nama tersebut dianggap berat. Bagi yang memaksakan dengan nama Gusti Allah misalnya walaupun ternyata si bayi yang di beri nama tersebut tidak sakit-sakitan akan tetapi masyarakat akan menertawakan orang yang memberikan nama pada anak tersebut, karena dianggap tidak etis oleh masyarakat ( Ayatrohaedi, 1996:89 )
Dalam Hal yang lain, ketika seseorang yang mengganti namanya dari yang nama pasaran atau sangat tidak asing di masyarakat kemudian mengganti namanya dengan nama yang dianggap berat oleh masyarakat. seperti yang terjadi pada Nia ( nama pendek ) yang mengganti namanya menjadi Tri Buana Tunggal Dewi. pergantian nama ini karena Nia sendiri pada saat remajanya sering mangalami sakit-sakitan dan sering mengalami trance. bagi orang tua yang mengerti aturan pemberian nama hal ini tentunya dianggap berat mengingat selain arti juga nama tersebut pernah digunakan oleh seorang Raja di Jawa. hanya saja yang terjadi kemudian setelah Nia mengganti nama dengan Tri Buana Tunggal Dewi ia tidak mengalami sakit-sakitan lagi bahkan sekarang beliau malahan bisa menyembuhkan orang yang sakit dan dekat dengan dunia mistik ( paranormal ) pada saat penggantian nama tersebut ia mengungkapkan selain karena dirinya mampu untuk mengenakan nama tersebut juga karena bisikan untuk menganti namanya pada saat mengalami sakit-sakitan.
Frans Sartono ( kompas: 23 april 2006) menyebutkan Dalam perkembangannya, sebuah nama yang di sandang setiap orang memiliki penyesuaian seiring dengan perkembangan kebudayaan maupun sosial masyarakat dan selalu mengikuti jamannya. pada jaman Hindu-Budha yang dijadikan sebagai sebuah agama resmi kerajaan. penggunaan nama di beberapa kelompok elit sudah banyak yang mengadaptasi dari nama Dewa atau Dewi yang ada di Hindu-Budha. selain itu juga penggunaan nama atau gelar sudah bisa di lihat dan hal ini kemudian yang menjadi sebuah pembeda dan petanda dari tatanan kelas sosial yang ada. tidak hanya itu pengambilan nama-nama binatangpun sudah banyak di sandang seperti misalnya Gajah Mada, Hayam Wuruk, Kuda Panoleh dll. pemaknaan serta harapan orang yang memberikan nama tentunya sudah ada pada masa tersebut. banyaknya pengunaan nama-nama yang mengambil nama dari lingkungan alam dimana ia tinggal harapannya lebih mengarah pada kekuatan serta jiwa yang kuat seperti binantang tersebut, mengingat pada masa tersebut daerah agraris serta besarnya alam masih cukup luas di wilayah Nusantara ini.
Masuknya agama langitan ke Indonesia serta makin meluasnya ajaran tersebut di tanah Jawa khususnya selain mengubah pandangan masyarakat akan nilai yang dianutnya juga mengubah persepsi tentang pemberian nama-nama yang berbau agamais seperti Islam, Kristen sangat marak di sandang oleh setiap orang. Hal ini nama menjadi pasaran karena banyaknya yang mengunakan / menyandang nama yang sama dalam setiap kelompok masyarakat. misalnya nama abdul yang di sandang lebih dari 3 orang.kita pun harus membedakan menjadi Abdul Ompong yang disesuaikan dengan keadaan pisiknya yang giginya ompong ( karena giginya ompong) atau Abdul Gendut yang memang secara pisik tubuhnya gemuk ( Ayatrohaedi, 1996: 88 ).
Memasuki era moderen di Indonesia serta besarnya pengaruh media terhadap masyarakat secara tidak langsung memberikan andil dalam pergeseran persepsi tentang pemberian nama. hal- hal yang berbau tradisi serta penggunaan primbon sebagai acuan dalam memberikan nama sudah tidak terlalu diperhatikan. Larsano, ( Kompas : 23 april 2006 ) juga mengungkapkan ”bagi sebagian masyarakat moderen pemberian nama pada anak lebih berorientasi pada pengucapan serta figur yang diharapkan oleh orang tua. walupun masyarakat moderen tidak terlalu memegang kaidah pemberian nama yang digunakan oleh masyarakat terdahulunya akan tetapi makna, nilai serta harapan masih mengiringi sebuah nama yang sudah diberikan”.
Sudiro dalam bukunya misteri nama ( 2006 : viii ) menjelaskan Pemberian nama tidak semata-mata hanya sebatas sebutan saja yang persis dalam artian bahasa sansekerta yakni nama yang diartikan sebagai sebutan. jauh dari pada itu, pemberian nama yang diberikan oleh orang tua kepada anaknya selalu memiliki tujuan dan maksud tertentu tujuan tersebut diantaranya sebagai sebuah do’a yang diberikan oleh orang tua juga sebagai sebuah harapan dari orang tua. Sementara bagi orang yang menyandang nama tersebut sebuah nama yang sudah diberikan oleh orang tua tentunya akan menjadi sebuah kebanggan dalam menyandangnya ( Sukma, 2006 : 1 )
Mengingat setiap orang selalu menggunakan nama ( bahkan lebih mengunakan satu nama ) selain sebagai identitas diri juga sebagai sebuah penanda akan keberadaan dirinya baik di masyarakat ataupun pada kehidupan dunia, maka sudah sepatutnyalah pembahasan akan sebuah nama yang dikaji baik lewat makna ataupun lewat pemahaman kita dengan latar belakang budaya untuk memaknai kembali tentang kebradaan nama diri yang di sandang setiap orang.
Sebagai seorang individu yang ingin mengenal lebih jauh akan tradisinya.sudah barang tentu keadaan seperti ini menjadi hal yang sangat menarik untuk di ketahui lebih jauh akan keberadaan serta pemaknaan dari nama yang di sandang oleh setiap orang. mengingat besarnya pengaruh moderenisasi yang menghantam masyarakat Tangerang khususnya, hal ini menjadi mungkin sebagian besar masyarakat akan tercabut dari tradisinya bahkan akan terasing dari ajaran-ajaran leluhurnya, ditambah lagi kebiasaan masyarakat yang tidak terbiasa menulis mengenai tradisi masyarakat yang tinggal di Kecamatan Balaraja tidak mungkin kehidupan masyarakat Tangerang ( Balaraja khususnya ) yang sampai saat ini sudah berada di bagian alam bawah sadar masyarakatnya tidak akan bertahan dan di gerus besarnya arus moderenisasi sehingga ahirnya baik sebuah ajaran ataupun kepercayaan hingga sejarah desanya yang diajarkan oleh nenek moyang mereka akan menghilang begitu saja tanpa bekas.
Mengingat waktu kelahiran sebagai sebuah takdir yang sudah ditentukan oleh waktu ( Jakob, 2002: 88 ) sementara nama yang menjelaskan perjalanan kehidupan seseorang. mungkin sudah selayaknya kita mengetahui dan memahami baik dalam proses pemberian nama, faktor faktor yang dijadikan acuan atau yang mempengaruhi maupun makna yang terkandung di dalam nama diri akan pemberian nama tersebut. sebagai sebuah pemahaman yang di percayai oleh masyarakat yang berada di Kecamatan Balaraja yang menjadi bagian wilayah Kabupaten Tangerang.

lainnya

asal kata

sungguh nggak adil bila mana sebagian orang sibuk bekerja, mencari sedikit rejeki.
demi mempertahankan diri untuk menjalani keberlanjutan hidupnya. sementara aku masih juga memikirkan sesuatu yang belum tentu pasti bisa mewujudkannya, tidur tiduran, sante, ngabisin waktu dengan ketawa ketawa tanpa memikirkan apa yang sudah terjadi di lingkungan sekitar. bagi aku ini jelas tak adil dan nggak wajar.
memang aku pernah bermimpi kalau satu saat aku pasti akan banyak membaca apa yang ada di langit, membaca bintang, membaca malam, membaca siang dengan mataharinya dan banyak lagi yang bisa ku baca dari langit. langit seperti kaca yang banyak menyimpan cerita, disana ada kisah tentang di ciptakannya bumi, disana banyak cerita tentang yang terjadi di tanah yang aku pijak ini. itu hanyalah sebuah mimpiku, yang ingin segera aku kenali dan segera aku nikmati. cerita tentang kaca yang selalu terdiam dia mengisahkan tentang urat-urat yanag ada di wajah, kejujurannya tak akan pernah membuat sedikitpun aku ragu walau terkadang aku tidak pernah tahu akan apa yang sudah di rasakannya.
ada hal yang pastinya tidak aku mengerti saat aku sudah berusaha memberi arti pada waktu yang perlahan pergi. dengan dinginnya sifat ia tak akan pernah berpikir siapapun apakah ia sudah makan atau apakah ia sudah tidur. semua akan di laluinya.
yang pasti rasa lapar ini selalu mengingatkan aku akan sebuah makanan.
he he he maksudnya apa yah...
kacau juga yah

Selasa, 06 November 2007

lainnya

Kampungku di Saga, Balaraja

Kampung hanyalah sebuah istilah yang diberikan pada setiap kelompok masyarakat yang mendiami suatu wilayah. Biasanya sebuah kampong memiliki batas wilayah teritorial yang memiliki keterkaitan yang erat dengan para penghuninya. Wilayah teritorial kampung adalah satu tingkat di bawah wilayah dimana kita tinggal, kampung bisa berarti desa, Kecamatan, Kabupaten, Propinsi bahkan Negara atau bisa jadi sebuah Benua. Hal ini terjadi karena penjelasan akan menunjuk kearah satu wilayah yang lebih kecil. Misalnya saja ada orang Jawa, Jakarta bertemu dengan orang Bali di negera eropa sana. Dengan dialek bahasa Indonesia yang sama serta dengan ciri-ciri tubuh yang sama maka dalam saapaan pertema mereka saat berkenalan berkata, anda dari Indonesia? Bila jawab ya. Maka pertanyaan selanjutnya dari Indosesia mana? Saya dari Jakarta. Dan yang bertanya akan menjawab saya dari bali. Kemudian perbincangan Selanjutnya saat orang bali pernah tinggal di Jakarta atau pernah tahu akan wilayah Jakarta pasti akan bertanya jakartanya di daerah mana? Dan pasti akan merujuk satu tingkat atau dua tingkat di bawahnya, nama wilayah di daerah tersebut, begitu juga seterusnya sampai pada wilayah rumah yang mereka diami sebagai akhir dari sebuah wilayah terkecil dari sebuah istilah kampung.
Setiap kampung memiliki cerita serta sejarahnya sendiri. Asal usul kampung tentunya sudah tak banyak lagi kita ketahui. Semuanya seperti berlalu begitu saja. Pemberian nama kampung di setiap daerah tentunya akan memiliki cara tersendiri. Misalkan saja pemberian nama desa di daerah sunda yang cenderung menggunakan kata awalan Ci- atau ¬ Pa- yang merujuk pada keadaan sebuah kondisi alam yang ada di wilayah tersebut. Pemberian nama tersebut tentunya sudah terjadi sejak lama, hal pemberian nama seperti itu dikarenakan kondisi masyarakat untuk melihat sesuatu tanda yang bisa dijadikan patokan akan keberadaan seseorang. Nama desa saga yang diambil dari nama sebuah pohon saga. Dalam kisahnya awal terbentuknya desa saga yang diberikan nama sesuai dengan pohon tersebut dikarenakan pada saat itu untuk beberapa wilayah yang ada di daerah tersebut tidak ada pohon saga yang tinggi dan besar. Sehingga dilihat dari kejauhanpun pohon tersebut bisa di lihat. Sebagai sebuah pohon yang rindang tentunya akan memiliki kandungan air yang banyak disana juga terdapat sebuah sumur yang di berikan nama sumur salam padahal pohon salam tersebut tidak terlalu besar bila di bandingkan dengan pohon saga tersebut. Sehingga dalam sejarahnya desa saga walau pada musim kemarau tidak pernah kekurangan akan pasokan air.
Sebuah pohon tinggi yang besar tersebut tentunya banyak memberi manpaat untuk masyarakat sekitar, karena dipercaya juga oleh warga jika daun saga bisa mengobati beberapa jenis penyakit yang dialami oleh warganya. Ketenangan dan keamanan desa saga tentunya tersebar ke wilayah wilayah lain. sehingga sering juga dijadikan sebagai sebuah tempat pelarian orang yang sedang mengalami masalah. Dan setelah orang bermasalah tadi dalam beberapa hari tinggal disekitaran pohon saga tersebut mereka kembali ke daerahnya masalah yang di milikinya seorah sudah tidak lagi di permasalahkan. Sehingga kemudian muncul istilah daerah tersebut sebagai daerah “paniisan” (tempat untuk mendinginkan) tentunya hal tersebut hanya sebatas cerita yang beredar di warga masyarakatnya.
Kedekatan antara penamaan sebuah desa dengan alam tentunya sudah terjadi sejak lama, di dalam perkembangannyapun penamaan dari sebuah desa juga berkembang dan berubah sesuai dengan kondisi lingkungan sosial dan lingkungan alam. Nama-nama kampung dalam perkembangannya seperti yang terjadi di Jakarta yang kita anggap sebagai sebuah pusat kota nama kampung rawa belong, ranca ekek atau nama-nama yang lainnya, kemudian dengan adanya pengelompokan yang di lakukan oleh kolonial belanda kita kemudian menganal nama-nama kampung di Jakarta dengan nama kampung bugis, kampung ambon, kampung manggarai dan sebagainya sebagai sebuah perkembangan pembentukan nama kampung yang ada di Jakarta. Banyaknya pemukiman pemukiman baru yang berbentuk sebuah kompek perumahan ataupun dengan bentuk rumah susun penamaan sebuah wilayah kependudukan tersebut tentunya disesuaikan dengan keadaan sekarang yang di sesuaikan dengan selera para pengembang perumahan tersebut.
Nama-nama yang digunakan tentunya akan terasa asing di dengar di telinga. Seperti nama kompek perumahan elit ciputra, cibubur permai atau yang lainnya. Identitas akan penandaan sebuah peradaban disini terlihat dengan adanya penamaan akan sebuah wilayah kependudukan. Pembentukan sebuah wilayah kependudukan yang baru tentunya juga memiliki kesamaan dalam menggunakan sebuah konsep yang sesuai dengan pola pikir orang-orang yang akan membuatnya. Pertimbangan yang matang serta strategisnya sebuah wilayah akan menjadi sebuah penanda akan ramainya sebuah kampong yang akan di buat.

lainnya

Kota kita…
Terkesan seperti sesosok bidadari yang selalu di cari-cari, didatangi dimanapun ia bersembunyi. Yah mungkin seperti itulah sosok sebuah kota, seperti sebuah putri. Banyak orang yang datang menghampiri. Bukan hanya sekedar datang untuk mencari rejeki ditengah tengah seretnya penghasilan dari sebuah desa. Mencari penghidupan yang lebih baik seperti itulah salah satu alasan yang selalu menjadi bahan perbincangan diwarung warung kopi yang dijadikan sebuah dorongan tuk bergegas segera pergi meninggalkan desa.
Begitu besar magnet yang menyeret para lelaki yang selalu ingin merantau ke kota. Seolah semuanya sudah menjadi pilihan utama. Di kota besar peluang untuk hidup bahagia. Asal saja sejauh mana kita dapat bertahan di derasnya arus kehidupan. Persaingan menjadi hal utama dalam mempertahankan hidup di kota, ketakutan ketakutan akan kehilangan apa yang sudah ada jelas terpancar dari wajah wajah para orang- orang yang lebih dahulu tinggal di sana. Sementara disisi lain, ketakutan itu akan menjadi-jadi bagaimana penduduk asli satu persatu beranjak pergi meninggalkan kota tercintanya, mereka tergusur bahkan tersungkur hingga keberadaan mereka hanya berada di pinggiran-pinggiran kota yang dahulunya bekas kampung halaman mereka.
Yah seperti itulah sebuah kota diciptakan, sebagai sebuah patokan dari simbol kemajuan, simbol peradaban dan segala simbol lainnya baik kekerasan ataupun sejenisnya. Kebersahajaan tentunya menjadi barang yang mahal. Keterasingan menjadi hal kewajaran. Penggusuran menjadi hal biasa, perebutan hak milik akan tanah sudah menjadi kewajaran. Memang semuanya kemudian menjadi hal yang biasa dari simbol sebuah kota.
Begitu menariknya sebuah kota, maka wajar sajalah di hampir setiap tahun saat perayaan ulang tahunnya kita akan melihat bagaimana didandani, dirapihkan dan di perindah agar saat mata memandang bisa merasakan bagaimana sejuknya sebuah kota yang didatangi. sehingga kita berada dan dapat merasakan langsung berdekatan menikmati indahnya keadaan sebuah kota. Jadi wajar saja bila sebuah kota bila di ibaratkan seperti seorang wanita dalam berbagai usia. Semuanya akan jelas terlihat dari kempanan serta pencitraan yang sudah di timbulkan kepada masyarakat yang berada di desa-desa untuk segera pergi kemudian mendatangi serta menikmati keindahan yang sudah tersaji.
Sebuah kota dimanapun tentunya memiliki ciri tersendiri, dan hal itu tidak akan kita temukan hal yang sama, saat kita mencoba mengunjungi dari kota ke kota. Disanalah sebuah identitas yang diciptakan serta diperahankan oleh para warga yang menjadi pendukung akan keberadaan sebuah kota. Hal ini tentunya kemudian di tiru oleh warga warga baik yang berada dipinggiran kota, di luar kota maupun di desa-desa. Apapun bentuk karya yang dihasilkan dari masyarakat kota sudah barang tentu pada masa sekarang menjadi hal yang utama. Tren gaya hidup masyarakat kota seolah tak melihat hal Baik dan buruk, semua seolah sudah tak lagi ada di logika, semua seperti menjelma dari bayangan-bayangan kemajuan sebuah kota.
Gaya- dalam berpaiakan akan tercermin dari pemuda desa yang baru pulang setelah lama bekerja di kota. Semua jelas akan terlihat beda, seolah menganggap kota bukan sumber derita karena bukti yang sudah jelas ada ditampilkan oleh para remaja saat berada di desa. Perasaan iri sudah jelas ada Karena keberhasilan sangat jelas bila dilihat dari gaya. jarang bagi mereka bercerita tentang duka, walaupun ada pasti akhirnya mereka bahagia dan bisa bertahan di tengah derasnya kemajuan di kota, tidak sedikit memang orang orang desa yang berdatangan ke kota kemudian terhempas dan kembali lagi ke desa.
Gencarnya pencitraan sebuah kota di desa, kita sendiri akan melihat tentang impian impian anak anak sekolah yang ada di desa. Semua serba ada semua serba mudah untuk menggapai segala. Dalam berbagai hal tentunya, terkadang kota menjadi tujuan utama. Tidak seperti keadaan di desa yang dirasakan serba tidak ada, hanya sawah, lading, kebun dan hamparan tanah yang harus segera di garap saat musim hujan tiba kemudian di tanami sehinggak mendapatkan hasil setelah panen tiba. Hidup di desa hanya membuat para tengkulak menjadi kaya, sementara para penggarap tanah tetap saja hidupnya tak banyak yang berubah. Hanya ketenangan bagi orang orang desa dapat diraskan. Hanya kebersahajaan yang dapat dirasakan, hanya keramahan yang terbuang dari senyuman para orang desa, sementara keringat yang tercucur tidak akan pernah di pikirkan sebagai ssebuah beban.