Senin, 12 April 2010

lainnya

Kesalahan kedua
Lantas, apakah kita mampu memperbaiki sebuah kesalahan yang sudah dialami, saat kita menjalani hari? Dengan cara apa kita akan memperbaiki kesalahan itu? Untuk apa kita harus memperbaikinya sementara kesalahan itu sudah kita lewati.? Walaupun tidak menutup kemungkinan kesalahan yang kita buat hari ini akan terjadi kembali di hari nanti. Seberapa yakinkah kita mengamini, bila sebuah kejadian yang kita alami hari ini akan kita ulangi di hari nanti? Lebih baik mencari sesuatu masalah yang belum kita temui, ketimbang kita harus mencari suatu masalah yang sudah kita lewati.
Kesalahan, di perbaiki atau tanpa di perbaiki tak akan pernah berubah. Di ingat atau tidak di ingat ia akan tetap saja sama. Jika kesalahan itu menyakitkan maka rasa dari luka itu pastinya akan tetap terjaga. Hati yang akan selalu menjadi penjaga sebuah rasa yang tersimpan di dalam dada. Sementara disisi lain, luka itu akan tetap menjadi tanda yang selalu bisa kita baca. Menyesal atau menyatakan pengakuan dalam menikapinya hanya akan membuang waktu. Jadi, jangan pernah meminta maaf jika kita tidak sanggup untuk menjalankan hukuman. Sebab sebuah maaf akan hilang dengan sendirinya saat kita selesai menjalankan hukuman.
Kesalahan bukanlah sebuah kecerobohan akan ketidak-mampuan diri kita untuk memahami sebuah kejadian. Jika kebenaran hanya mikik sang pencipta dan kesalahan adalah milik kita. Oleh karenanya, kesalahan adalah hukuman akan kelalaian kita yakan ketidak mampuan. Maka, apa salah kita? Akantetapi di sisi yang lain kita bisa menganggap kesalahan merupakan sebuah keharusan yang terkadang harus kita jalankan tanpa pernah ada penyesalan, bukankah tidak menutup kemungkinan bahwa sebuah kesalahan adalah satu ketentuan yang harus kita jalankan. Bila kita bisa merasakan, ada sebuah keindahan yang bersembunyi dibalik setiap kesalahan yang pernah kita lakukan. Jika kita menyadari apa yang kita lakukan adalah sebuah kesalahan, maka kesadaran adalah penyiksaan yang tak pernah bisa kita tepis.
Tidak pernah ada yang berani menilai dalam hidup, sebab tak ada lagi aturan yang mengikatnya. Hanya ketentuan yang diberlakukan untuk melakukan apapun yang sudah menjadi ketetapan. Ruang kehidupan harus ditinggalkan dan kematian harus kita rasakan dengan perasaan. Maka berbahagialah orang-orang yang masih hidup dan bisa merasakan kematian dalam kehidupannya.
Segala kejadian ini begitu sempurna, sampai-sampai aku tak sempat merasakan keindahan yang begitu tipis menggantikan detik-detik perubahan. akupun sempat bertanya: jika rasa tak lagi punya kesanggupan merasakan suasana, apakah semuanya itu nyata? sementara disisi lain aku bisa menyatakan semuanya itu nyata dan menjelma. Tak ada lagi runtutan do’a yang bisa di baca untuk mendamaikan suasana. Harapan yang biasanya aku gunakan kali ini tak bisa ku temukan untuk dipergunakan, ia seolah lenyap.
Ada diri kita didalam karya kita, lantas masihkah ada sang pencipta didalam ciptaannya? Sementara yang diberikan kuasa adalah semesta setelah selesai dicipta untuk mengelola yang ada. Tak ada yang harus kita takutkan jika kita tidak menemukan tempat untuk bersembunyi. Seperti halnya yang tak menemukan alasan kenapa harus takut pada sang pencipta, sebab ia yang kita cinta.
Harusnya kita meyakini dengan bukti, bahwa tuhan tak pernah menanamkan ketakutan. Sebab bagaimanapun walau kita menemukan cinta dalam ketakutan tapi alangkah baiknya jika kita takut karena cintanya. Cinta kasihnya yang selalu ia tanamkan makanya lebih baik kita takut karena cinta dan kasihnya, ketimbang kita cinta karena takutnya. Walaupun ada bagian bagian yang kita cinta dan kita takuti akan tetapi yang menjadi pembeda dari keduanya adalah awal, dimana sebuah awal bisa digunakan sebagai salah satu alasan untuk menyandarkan ketidakmampuan diri kita saat menghadapi yang terjadi.
Semoga nanti di ujung sepi bisa kita kenali apapun yang sudah pernah kita lewati. Saat kita menyanyi dan menari dendang lagu hati, kita berada dalam abadi.
Atas nama cinta, selamatkan aku dari setiap kejadian yang sudah kau berikan. Selamatkan… selamatkan… selamatkan...

lainnya

Cinta melulu….

Sang pencipta menitipkan perasaan dalam diri ini, salah satunya rasa untuk menyayangi dan mencintai untuk disebarkan di muka bumi. Dalam persoalan cinta dan kasih yang terlalu umum ini, pastinya kita tidak akan membagi dan memberikan karunia sang pencipta itu kita berikan pada hal yang kita inginkan. Pada logikanya mengenai persoalana ini, cinta yang utuh ini harus kita bagikan kepada siapapun dan kepada apapun. Bukan hanya kepada manusia atau orang yang kita cinta, pada semesta, pada alam raya, pada dirikita bahkan yang utama pada sang pencipta itu sendiri.
Begitu luas dan beragamnya makna cinta bila kita beri arti, terkadang menjadikan dirikita enggan untuk membatasi arti dari kata cinta tersebut. Ada yang menganggap dengan mengartikan sebuah kata, secara tidak langusng, kita sudah membatasi hal yang tak seharusnya tak berbatas. Itu mungkin anggapan kita yang mencoba memilih membiarkan cinta itu yang akan membatasi ruangnya. Sementara bagi orang-orang yang membatasi istilah cinta dengan memberikan arti menganggap karena ketidak mampuan kita mengarungi samudera cinta, maka batas yang kita sediakan akan memberikan satu sarah pada diri kita agar memperhatikan hal lain juga, sebab tidak hanya persoalan cinta yang melebihi luasnya samudera yang ada dalam kehidupan ini. Toh pada kenyataanya kita juga harus menanggalkan cinta yang begitu agung saat kita bersujud.
Untuk mengarungi luasnya samudra yang ada dalam diri kita, dibatasi atau tidak dibatasi itu semua kembali kepada dirikita. Yang meresahkan pikiran kemudian, bila kita kembali memikirkan rasa cinta itu dengan melihat realita yang ada, maka apakah agungnya cinta yang dititipkan hanya akan kita gunakan untuk sesekali bertahan.? Saat kita sendiri sudah teryakinkan oleh sebuah ikatan yang dinyatakan. Lantas kepada siapakah perasaan bahagia itu harus kita bagi, kepada orang yang kita cintai atau kepada orang yang mencntai kita?
Bila kita mencoba melihat pada realitas masyarakat. Sebagian besar masyarakat lebih memilih membagikan cintanya kepada orang yang kita cinta. Sesekali masarakat lebih memilih sakit ketimbang mencoba memilih kebahagiaan. Yang menyebabkan hal ini, logikanya sederhana. Ada beberpa poin yang utama kenapa manusia lebih memilih bertahan dengan rasa sakitnya. Pertama : cinta yang ada dalam diri kita bertumpu pada keinginan kita. Kita lebih tertarik untuk mengejar dan menaklukan orang yang kita inginkan ketimbang orang yang menginginkan kita. Hal itu memang sangat wajar terjadi. Padahal bila kita pikirkan lagi, orang yang mencintai dan mengejar cintanya akan lebih banyak mengorbankan apapun yang ada dalam diri kita, tidak hanya waktu, tapi juga hati kita bahkan hargadiri kita harus siap dipermalukan dan direndahkan.
Sayangnya persoalan cinta memang begitu adanya, kita lebih berani untuk menyakiti orang yang mencintaikita dan mencampakannya, disisi lain diri kita sendiri memang sudah siap untuk dicampakan oleh orang yang kita cinta. Lantas, kapan cinta itu akan bertemu. Bukankah masih ada keindahan cinta yang harus kita nikmati ketimbang merasakan sakitnya berkorban, memang keindahan itu akan lebih indah saat kita merasakan rasa sakit sebagai awalnya ketimbang langsung merasakan rasa manis awalnya dan pahit akhirnya. Tapi lebih baik tidak ada awal atau akhir tapi manis merasakan adanya cinta.
Yang kedua : Tantangan. Yah, manusia kadang merasa lebih tertantang untuk mendapatkan serta meraih apa yang sudah diinginkan Ketimbang menerima tantangan untuk orang yang mencintai diri kita. Orang orang terkesan merasakan sebuah kenyamanan saat andrenalinnya terus dipacu untuk memikirkan serta membuat diri kita selalu khawatir akan seseorang yang menjadi pujaan kita. Anehnya hal ini bukan hanya terjadi pada remaja saja, tapi pada orang dewasa juga. Mungkin saja cara orang yang kita cinta yang tidak bisa di mengerti kita, mungkin juga karena susah ditundukannya orang yang kita cinta sehingga akan membuat diri kita bangga saat kita bisa menaklukannya. Sayangnya cinta tidak pernah penjajahan dan penaklukan.
Pada dasarnya mencintai atau di cintai sama saja, sebab dua hal tersebut tak bisa dibandingkan antara satu dengan yang lainnya. Masing-masing punya ruangan dan nilainya sendiri-sendiri serta suasananya sendiri yang tak akan pernah sama bila dibandingkan. Mencintai terkadang lebih banyak disakiti, lebih banyak memberi tanpa memikirkan apa yang sudah kita dapatkan, sebab mencintai adalah pengabdian diri kita untuk beajar merelakan perasaan kita untuk diperlakukan bagaimanapun. Begitu juga dengan dicintai, tidak menutup kemungkinan juga pada orang yang mencintai kita bisa membuat diri kita disakiti hingga terluka juga hati kita. Lantas..? mendingan tidur aja ahhh…..