Rabu, 25 Agustus 2010

sekitar nama

Makna Bagi Yang Menyandang Nama
Setiap individu memiliki identitas yang tersusun dari sejumlah unsur. Unsur tersebut tidak terbatas pada hal-hal khusus seperti yang tercantum dalam catatan resmi. Seperti halnya KTP yang memuat nama si pemegang kartu, tanggal, tahun serta tempat kelahiran, jenis kelamin, golongan darah, agama, alamat, serta tercantumnya foto kita dalam selembar kartu identitas kependudukan. Definisi seperti ini merefleksikan sebuah gagasan yang cukup presisi. Sebuah gagasan yang secara teori mestinya tidak menimbulkan kebingungan. Sungguhkah kita membutuhkan arguman yang panjang lebar untuk membuktikan bahwa tak ada dan tak bakal ada dua individu yang identik (Maalauf, 2004:10).
Sebagai salah satu identitas yang ada di dalam diri, yang banyak tidak dimaknai oleh sebgaian besar si penyandang. Maka sebuah nama terkesan tidak memiliki makna apapun karena hanya digunakan untuk memanggil, menyapa dan menjadi pembeda dengan orang lain. Asmarudin mengungkapkan :
“Sebuah nama, pastinya akan bermakna jika seseorang memperlakukannya “lebih” dalam artian tidak hanya sebatas digunakan untuk difungsikan. Saya sendiri menganggapnya, biasa saja sih, dan tidak telalu memikirkannya juga. Saya sendiri tidak pernah juga bertanya kepada orang tua saya, kenapa diri saya diberikan nama asmaudin. Cuman…! Yah, saat orang lain dan keluarga besar saya memanggil dengan nama asmarudin saya pasti menoleh.
Saya sendiri kadang tidak terlalu bangga dengan nama yang diberikan oleh orang tua, malahan saya lebih bangga dengan nama panggilan keseharian saya. Karena nama panggilan yang lebih terkenal ketimbang nama asli saya. Karena terkenalnya dari berbagai kalangan tersebut kebanggan sebuah nama itu ada. dan saya yakin dalam nama panggilan yang lain pun selain nama Dayak, belum tentu di kenal juga.

Sebagai sebuah hadiah pertama yang diberikan orang tua, sebuah nama akan memiliki kesan yang sangat istimewa. Maka sebagai sebuah konsekwensinya si penyandang harus bisa menjaga dengan baik nama yang sudah dihadiahkan. Asep Lindu Nugraha manganggap nama yang sudah diberikan oleh orang tuanya merupakan sesuatu hal yang istimewa :

“Bagai saya, sebuah nama bila dirasakan dan dipikirkan seolah nama yang saya sandang memberikan sebuah nilai cukup untuk dirasakan dan susah diungkapkan.
Saya menyadari, mencari nama dan memberikan nama untuk anak itu gampang-gampang susah setelah saya punya seorang anak. Saya terkadang membandingkan antara nama saya yang sudah diberikan oleh orang tua dengan nama anak saya yang saya berikan sendiri. Semoga saja anak saya nanti bisa merasakan sebuah sepirit nilai dari nama yang sudah saya berikan. Yah minimal saja dia bisa bangga dengan nama yang sudah disandangnya”.

Pada realitasnya sebuah nama yang disandang memiliki kaitan yang erat dengan prilaku seseorang. Sebuah nama di masyarakat bisa dijadikan sebutan untuk mengingat akan kelakuan baik-buruknya seseorang. Sebuah prilaku yang kurang berkenan di masyarakat maka akan berdampak pada namanya, walaupun sebenarnya nama yang disandangnya memiliki arti yang baik.

sekitar nama

Makna Bagi Yang Mmberikan Nama
Hingga akhir abad ke-20 kebanyakan orang Indonesia tidak memiliki nama keluarga. Biasanya anak-anak mewarisi nama ayah mereka (atau ibu mereka di kebudayaan Minangkabau). Wanita yang menikah sebagian mengadopsi nama suami mereka, namun tidak jarang yang tetap menggunakan nama belakang mereka, atau sama sekali tidak mengadopsi nama suami mereka. Maka dari itu seringkali suami istri memiliki nama belakang yang berlainan (hidayat, Koran Seputar Indonesia:11 Juli 2008). Nama anak dalam setiap keluarga memiliki banyak sekali variasi. Rakyat Sumatra Utara memiliki nama klan mereka sendiri-sendiri, rakyat Jawa sebagian hanya memiliki nama tunggal (kadang-kadang diikuti nama ayah mereka /patronymik), orang Tionghoa-Indonesia memiliki nama Tionghoa dan juga nama Indonesia, di Bali dengan nama yang disandang oleh warganya sangat khas, karena juga menunjukan salah satu tingkatan anak di dalam sebuah keluarga.
Pemberian nama belakang pada anak dengan nama ayah, sangat jarang dijumpai. Walaupun ada yang menyandangnya, hal tersebut semata dikarenakan latar belakang pendikan, pengetahuan serta pergaulan seseorang dengan dunia luar. Seperti halanya dalam keluarga Pak Endang Kasmiun, yang menyertakan namanya di belakang nama anak-anaknya atau pada keluarga H. Bahtiar yang juga menyertakan nama beliau di belakang nama anak-anaknya.
Umumnya di masyarakat Balaraja, aturan dalam memberikan nama pada anak sudah dianggap akan mewakili identitas keluarga. kesamaan karakter huruf yang sama dengan nama yang di miliki oleh orang tua, dijadikan sebagai salah satu alasan akan pemberian identitas yang tercermin dalam sebuah nama. Seperti yang diungkapkan oleh Pak Umar :
“Jadi penggunaan nama orang tua di belakang nama anak kesannya, sudah seperti orang- orang yang tinggal di kota saja. Bagaimanapun juga yang namanya orang desa yah tetap saja, nama yang diberikan kepada anakpun dengan menggunakan cara-cara desa. Untuk merubah sebuah adat sih sebenarnya bisa-bisa saja, cuman masalahnya kalau aturan itu kita rubah dan kita ganti dengan yang baru belum tentu hasilnya baik. Jadi sampai saat ini, saya sendiripun masih menjalankan aturan yang diwariskan dari orang tua saya dahulu. Bagi orang lain saya rasa sah sah saja dengan memberikan nama mereka di belakang nama anaknya, agar lebih terlihat modern dan beda”.

Setiap orang tua akan memiliki alasan sendiri dalam memberikan nama pada anaknya. Hanya saja kebebasan tersebut terbatasi oleh tata-cara dan aturan dalam memberikan nama pada anak. Tata-cara dalam memberikan nama merupkan sebuah aturan yang tidak tertulis yang bersifat tidak baku yang berlaku di masyarakat. Melalui aturan inilah yang menudian menjadikan sebuah nama dalam kelompok masyarakat secara garis besar akan memiliki kemiripan.
Nilai-nilai dalam pemberian nama dari orang tua biasanya akan terlihat dari nama yang dikenakan oleh setiap penyandangnya. Nilai tersebut tentunya juga merupakan sebuah do’a dari orang yang memberikan nama. Sebagai sebuah refresentasi akan suatu nilai yang sudah diberikan, tanpa disadari keberadaan sebuah nama akan memiliki arti yang penting dalam sebuah kelompok masyarakat. Adapun kandungan nilai dalam sebuah nama umumnya yang tersebar di masyarakat Balaraja yakni adanya harapan dan untuk mengingat sebuah peristiwa/kejadian (moment).

sekitar nama

Makna Spiritual di Balik Pemberian Nama
Giddens menulis “Agama terdiri dari seperangkat simbol yang membangkitkan perasaan takjim dan hikmat serta terkait dengan pelbagai praktek ritual maupun upacara yang dilaksanakan oleh komunitas pelakunya”. Sebagai sebuah sistem makna, agama memberikan penjelasan dan interfretasi tertentu atas berbagai persoalan dan menjadikan persoalan lainnya tetap menjadi misteri. Agama memberikan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tentang asal-usul alam semesta dan asal-usul manusia dalam kehidupan, kematian serta kehidupan setelah mati dalam sebuah konsep yang bernuansa kegaiban seperti halnya konsep tentang Tuhan (Budiwanti, 2000:26).
Pada ajaran Islam seperti dijelaskan dari kisah awal tentang penjelasan Allah kepada Adam yang mengajarkan kepada Adam tentang nama-nama benda yang berada di sekelilingnya. Sesuatu hal yang belum pernah diajarkan kepada malaikat ataupun setan, “…dan ia mengajarkan kepada Adam nama-nama semuanya…(Q.S 2:3)”. Demikian pentingnya sebuah nama, dalam Al-Quran sendiri mencatat sekurang kurangnya dua kisah tentang pemberian nama. Surat Alimran ayat 39 “Allah menyampaikan kabar gembira kepadamu tentang lahirnya yahya yang akan membenarkan kalimah Allah”. Dalam Q.S 3:25 juga menjelaskan “hai maryam, Allah menyampaikan berita gembira kepadamu tentang (seorang putra yang akan membawa perkataan-Nya) namanya Al-Masih Isa putra Maryam, seorang terkemuka di dunia dan akhirat dan tergolong orang yang didekatkan (kepada Allah)”.
Agama menanamkan nilai-nilai moral bagi penganutnya. Pada setaip aspek kehidupan, nilai-nilai akan tercermin manjadikan sebuah gambaran bagi manusia lainnya. Agama juga menganjurkan akan tata cara dalam memberikan nama pada anak. Keterkaitan antara nama yang disandang dengan sebuah kepercayaan dapat dilihat dari bagaimana seseorang bisa meyakini nama yang disandangnya memiliki nilai spiritual yang berbeda dengan yang lainnya.
Islam memandang ada keterkaitan antara sebuah nama dengan orang yang menyandang nama. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah saw: Aslam semoga Allah menyelamatkannya dan Ghifar semoga Allah mengampuninya (H.R Bukhari dan Muslim). Ibnu Al Qoyim berkata, barangsiapa yang memperhatikan sunah, ia akan mendapatkan bahwa makna-makna yang terkandung dalam nama berkaitan dengannya sehingga seolah-olah makna-makna tersebut diambil darinya dan seolah-olah nama-nama tersebut diambil dari makna-maknanya (Ibnul Qoyim Al-Jauziyyah, 2003:77).
Seperti yang diungkapkan oleh nur jahro, beliau mengatakan :
“Ku amfusakum wa ahlikum naro (selamatkanlah keluargamu dari siksa api neraka) dengan tafsiran :sanggupna ngaraksa kana diri sorangan, sehingga teu ngalanggar pada larangan anu tos di bere”. (adanya kesanggupan dalam diri seseorang, untuk tidak melanggar larangan yang sudah diberikan),
seseorang harus hidup di dalam namanya. Misalkan nama Soleh, bila seseorang yang bernama Soleh ini masih melakukan sesuatu hal yang tidak baik, maka si Soleh itu sudah tidak tinggal di dalam namanya sendiri. Sebuah nama tentunya memiliki peranan di dalam menjalankan kehidupan.
Nama seperti sebuah garis yang akan menuntun seseorang pada pengenalan akan makna hidup seseorang ataupun makna diri seseorang. Seperti halnya yang ada dalam sebuah hadis Nabi yang mengatakan “berilah nama yang baik bagi anakmu karena di dalamnya terdapat sebuah doa” dan pastinya sebuah nama yang berikan oleh orang tua sudah pasti baik adanya. Hanya saja yang menjadi masalah kemudian, seberapa besarkah seseorang akan mampu tetap konsisten dengan nama yang sudah diberikan oleh orang tua.
Saya rasa karena hal ini lah yang kemudian, bagi sebagian besar masyarakat mengenal dengan istilah keberatan nama yang disandang oleh sang bayi. Sebagai sebuah proses perjalanan hidup, nama bukan saja dijadikan sebagai sebuah identitas yang menjadi pembeda tapi ia juga menjadi sebuah pedoman yang harusnya selalu di ingat oleh si penyandang di dalam menjalankan kehidupannya”.

Komaruddin Hidayat mengungkapkan : jika dikaji lebih dalam, nama memiliki kekuatan magis dalam arti kandungan makna dan doa orangtua akan berpengaruh pada pertumbuhan jiwa anaknya.Terlebih lagi jika sebelum memberi nama, orangtuanya melakukan puasa serta mengadakan tasyakuran dan doa bersama, agar makna dan doa yang terkandung bagaikan sebuah energi dan cetak biru bagi masa depannya (Koran Seputar Indonesia, 11 Juli 2008).

sekitar nama

Makna Sosial di Balik Pemberian Nama
Ludwig Wittgenstein dalam tractaus logico- philosophicus (1912), menaruh perhatian pada perwujudan suatu keterkaitan antara bahasa dan dunia. Dunia dipandangnya sebagai sebuah totalitas fakta-fakta atau totalitas keadaan bukan totalitas benda-benda, karena benda benda tidak bermakna di luar sekelilingnya dan tidak dapat di anlisis di dalam dirinya. Sebuah makna hanya muncul melalui susunan ensambel dari benda-benda. Bahasa tersusun atas nama-nama sederhana (unit-unit terkecil yang tidak dapat di analisis pada dirinya) perpaduan dari bagian unit terkecil tersebut kemudian akan membentuk sebuah proposisi-proposisi. Proposisi tersusun atas tanda-tanda sederhana, maknanya hanya dapat dijelaskan dalam penggunaan bahasa (Cavallaro, 2004:16). Menurut Bloomfield, makna tergantung pada konteks praksis dimana sebuah ujaran (utterance) di produksi dan di respon. Ia percaya bahwa makna kata tidak akan bisa didefinisikan secara tepat sebab manusia tidak mempunyai pengetahuan yang menyeluruh mengenai benda-benda atau ide-ide yang menjadi acuan bagi kata-kata (Cavallaro, 2004:24).
Jhonatan Rutherford menjelaskan identitas adalah mata-rantai yang menghubungkan nilai-nilai sosial budaya masa lalu dengan masa sekarang dalam artian identitas memiliki sejarahnya. Identitas merupakan ikhtisar dari masa lalu yang membentuk masa kini dan mungkin juga masa yang akan datang. Dalam kontek sosialnya identitas merupakan sesuatu yang di miliki secara bersama-sama oleh suatu komunitas atau suatu kelompok tertentu dalam masyarakat dan sekaligus dapat membedakan (difference) mereka dari komunitas atau kelompok yang lain. Dengan demikian sebuah identitas memberikan posisi sosial setiap individu dalam sebuah masyarakat (Yasraf A. Piliang, 2004: 279-280).
Menurut istilahnya nama berasal dari bahasa Sansekerta, yatiu Nam yang berarti di kenal, dapat ditentukan dan dapat dipastikan. Sementara kata yang kita gunakan untuk menyebut seseorang atau suatu benda dan untuk membedakannya dari yang lain di sebut sebagai nama. Setiap nama yang digunakan untuk menyebut dan membedakannya, pastinya akan ada yang di namai. Hal yang di namai tentunya tidak akan memiliki arti serta sifat sebelum memiliki nama. Pada tahapan ini setiap nama akan memiliki rujukan yang pasti sehingga akhirnya nama menjadi sebuah refresentasi akan hal yang dinamai. Nama mendapatkan sebuah arti serta makna saat terkorelasi dengan hal yang lain (Shing, 1998:163).
Mengacu pada pemahaman tersebut maka dapat diasumsikan bahwa sebuah kata akan memiliki makna saat kata tersebut dihubungkan dengan objek yang terklasifikasi secara ilmiah seperti bintang, tumbuhan, atau mineral. Begitu juga dengan nama, akan memiliki makna bila hal yang diacunya merujuk pada sesuatu hal (momentum, penanda, harapan) yang berada dalam lingkungan sosial suatu masyarakat. Sebuah nama bisa jadi tidak memiliki makna apa-apa (arti kososng) sepertihalnya nama pada binatang seperti Naga.
Nama yang kosong secara sepintas masuk di akal. "Naga" dapat menunjuk kepada "ular yang bisa menyemburkan api" (tokoh mitologi). Karena binatang seperti yang dimaksud tidak ada, maka nama "Naga" tidak memiliki referensi yang nyata; maka dari itu, meski "Naga" tidak memiliki referensi terhadap apa pun, namun ia masih memiliki arti. Mungkin nama "Aristoteles" berarti "gurunya Alexander"; karena memang ada orang yang memiliki deskripsi tersebut, maka nama tersebut memiliki referensi.
Referensi dalam nama yang di sandang oleh setiap individu memiliki ikatan pada suatu ruang dan waktu dalam wilayah sosial masyarakat. Pemberian nama pada anak di kecamatan Balaraja merupakan suatu referesntasi akan keberadaan orang tua dalam lingkungan sosialnya, seperti dalam pepatah “kolot tea anak tapi anak lain kolot” (orang tua adalah anak tapi anak bukan orang tua). Sebuah nama akan memiliki referesi lain jika si penyandang nama tersebut bisa melewati wilayah ruang (kampung) ke ruang yang lebih luas lagi (desa ataupun kecamatan). Biasanya referensi lain tersebut memiliki sifat yang umum seperti profesi pekerjaan ataupun sebuah keahlian yang dimiliki oleh individu.

sekitar nama

Harapan Dalam Nama Diri
Bagi pasangan suami-istri, kelahiran seorang anak baik pria/wanita merupakan suatu berkah. Semenjak kelahiran si anak, setiap orang tua selalu mempunyai harapan agar anaknya kelak menjadi orang yang berguna bagi keluarga, masyarakat ataupun bangsa ini. Tidak ada satu orang tuapun memiliki harapan agar anaknya kelak menjadi orang yang tidak berkenan di masyarakat (Bratawijaya, 1988:32).
Semenjak bayi dilahirkan, sebuah harapan baru datang pada orang tua. Nama yang diberikan merupakan cerminan sebuah harapan tersebut. Makna dari arti nama merupakan tempat yang sangat baik untuk memberikan harapan orang tua. Seperti yang dijelaskan Komarudin Hidayat : Nama Sugiharto, dengan harapan kalau besar nanti anaknya akan jadi orang kaya. Sugih artinya ’kaya’, arto berarti ’uang’ Atau Suharto. Artinya orang yang bisa mencari harta agar hidupnya makmur dan indah dipandang, sedangkan Sutrisno diharapkan agar banyak orang yang menyayangi. Nama Budiharjo mungkin orangtuanya berharap agar anaknya berbudi dan hidupnya sejahtera (Hidayat, Koran Seputar Indonesia:11 Juli 2008).
H. Djaenur, yang memberikan anaknya dengan nama Akhmad Subagja, sebagai simbolisasi dari kebahagiaan karena mandapatkan seorang purta. Beliau memberikan harapan, kelak anaknya bisa merasakan kebahagiaan di dalam menempuh perjalananan hidupnya di dunia dan akhirat. Lain hal dengan pak Johadi, yang memberikan nama anak laki-laki terakhirnya dengan nama Awaludin. Nama tersebut dijadikan sebagai sebuah simbol akan istilah “awal adalah akhir”. Bagi masyarakat yang tinggal disekitaran rumah pak Johadi, mungkin apa yang sudah dilakukannya terkesan aneh dalam memberikan nama pada anaknya, mengingat anak yang diberinama tersebut merupakan anak terakhir. Kejadian tersebut tenntunya bukan merupakan hal yang bermasalah di masyarakat, karena masyarakat memahami benar bagaimana sebuah pemberian nama kepada seorang anak merupakan hak dari setiap orang tua dan juga nama yang diberikan tidak melangkahi kaidah-kaidah dalam memberikan nama.
Harapan merupakan aspek fsikis untuk hidup dan tumbuh. Jika harapan sirna, maka secara aktual maupun potensial kehidupanpun musnah. Harapan adalah unsur intrinsik struktur kehidupan, dinamika spirit manusia. Harapan berhubungan erat dengan unsur lain dari struktur kehidupan : yakni keyakinan (feith) keyakinan adalah kepastian terhadap yang belum terjamin, sebuah pengetahuan tentang kemungkinan riil, seperti halnya kesadaran akan kehamilan (fromm, 1996:13). Sebagai salah satu unsure intrinsic yang ada dalam diri manusia, sebuah harapan akan memiliki peranan di dalam mempersepsikan seusatu yang diharapkan. Hanya saja, sebuah reaitas yang kemudian menjadi penentu di dalam tercapainya sebuah harapan. Seperti halnya harapan seorang akan salah satu anak dengan jenis kelamin tertentu, walaupun tidak sesuai dengan yang diharapkan karena realitas berkata lain maka harapan tersebut akan berlalu begitu saja dan tergantikan dengan harapan yang baru.
Bagi masyarakat Balaraja, harapan yang tercermin dalam sebuah nama yang diberikan kepada anaknya masih kurang di pahami. Nama yang diberikan kepada anak hanya sebatas pada sebutan untuk dijadikan sebagai sebuah pembeda dengan orang lain. Seperti yang diungkapkan oleh pak Tawing “yang menjadi pembeda manusia dengan mahluk lainnya, salah satunya nama. Manusia memiliki nama, sementara pepohonan/tumbuhan namanya hanya satu jenis saja dan semuanya sama”.
Harapan itu sersifat paradok. Harapan bukanlah menunggu secara pasif juga bukan pemaksaan yang tidak realistis terhadap keadaan yang tidak bisa dilakukan. Berharap berarti siap setiap saat terhadap apa yang belum lahir, dan tidak akan menjadi sedih bila tidak ada kelahiran di dalam hidup kita. Tidak ada kesadaran dalam berharap terhadap apa yang sudah atau apa yang tidak mungkin ada (fromm, 1996:10). Harapan lahir bersamaan dengan meningkatnya persepsi atas realitas. Sebuah harapan yang baru ini memerlukan pengertian yang mendalam akan tanggung jawab sosial dan tidak berarti akan membiarkan segala sesuatu akan berjalan begitu saja. Jadi sebuah harapan akan selalu lahir selama realitas yang di alami oleh manusia itu ada (Preire, 2001:14).

sekitar nama

Prosesi Pemberian Nama
Di masyarakat Balaraja sendiri, ritual dalam memberikan nama pada anak tidak menggunakan cara-cara yang rumit. Prosesi paling mudah hanya dengan Selamatan dengan mengundang para kerabat ataupun para tetangga. Biasanya selamatan ini dilakukan setelah sholat maghrib atau sebelum waktu maghrib tiba, bertempat di kediaman anak yang akan diberikan nama. Dalam negundang para kerabat waktu yang digunakan menjelang sore. Biasanya ada salah satu anggota keluarga atau kerabat yang di utus untuk keliling dari rumah ke rumah memberitahukan kepada para tetangga agar menghadiri selamatan (riungan/ngariung) pemberian nama pada bayi. Undangan dalam acara selamatan (riungan/ngariung) ini hanya di hadiri oleh kaum laki-laki.
Setelah semua berkumpul dalam satu ruangan, dengan posisi melingkar dan mengikuti ruangan yang tersedia. Tuan rumah dengan salah satu pembawa acaranya, memberikan kata sambutan sekaligus membuka acara dengan mengutarakan maksud dan tujuan acara riungan tersebut. Setelah kata sambutan selesai diutarakan, biasanya si pembawa acara langsung menyerahkan kepada salah satu ustad / orang yang di percaya bisa memimpin dalam berdoa untuk memimpin acara selamatan (riungan).

Pembacaan hadorot yang ditujukan kepada salah satu nabi kemudian di iringi dengan pembacaan surat al-fatihah secara bersama-sama menjadi pembuka dalam memulai riungan. Setelah pembacaan surat al-fatihah selesai kemudian dilanjutkan dengan pembacaan hadorot yang ditujukan kepada sahabat nabi, keluarga nabi, kaum muslimin-muslimat, kepada keluarga dan kepada si bayi agar diberkahi dalam menjalankan hidupnya kemudian dilanjutkan kembali dengan bacaan surat al-fatihah. Setelah bacaan-bacaan yang dilantunkan oleh pak ustad selesai dibacakan, kemudian kembali membacakan bacaan-bacaan ayat dengan maksud mendoakan dan memintakan berkah selamat. Sementara yang lainnya hanya mengamini yang sidah dibacakan oleh pak ustad. Pada saat pembacaan doa itu hampir selesai dibacakan, kemudian tuan rumah mengeluarkan hidangan makanan (jajanan pasar) ataupun di buat sendiri dalam berbagai jenis. Biasanya perhitungan antara doa dan selesainya menyediakan hidangan makanan kecil tidak terlalu jauh selisihnya. Hal ini dilakukan agar saat para undangan selesai mendoakan keselamatan si bayi selesai, mereka bisa langsung menyantap makanan yang sudah disediakan.
Setelah prosesi yang sederhana ini selesai dilaksanakan. Sambil menyantap hidangan yang tersedia mereka melakukan obrolan-obrolan ringan tentang apa saja bahkan tidak memiliki kaitan dengan upacara selamatan yang sedang berlangsung. Bila si empunya hajat tidak memiliki acara yang lain yang berkaitan dengan selamatan anaknya. Berkat yang di kemas dalam bentuk besek segera dikeluarkan dan dibagikan kepada para tamu yang datang. Isi dari berkat biasanya berbentuk nasi yang berisikan lauk serta sayurannya. Selain itu juga berkat ini bisa berisikan nasi uduk beserta lauk pauknya untuk di bawa pulang oleh para undangan yang sudah menghadiri acara riungan. Setelah pembagian berkat ini selesai maka secara tidak langsung upacara selamatan pun selesai.
Bagi keluarga yang dianggap mampu secara materi, baik di desa maupun di kota yang taat menjalankan syari’ah agama islam mengadakan upacara pada hari ke tujuh yang di sebut Akekah/ Ekah. Upacara ini dilakukan sekaligus memberikan nama pada anak (Koentjaraningrat, 1994:354). Seperti yang diriwayatkan oleh Abdul Malik b Abdul Humaid diambil dari riwayat At-Tarmizi : Ingatkanlah kami, pada umur berapa bayi di beri nama! Maka Abu Abdillah berkata : adapun riwayat yang tsabit yaitu diriwayatkan dari Anas bahwa ia memberikan nama pada hari ketiga adapun Samurah pada hari ke tujuh” dengan hadits “setiap anak yang lahir tergadaikan dengan Akikahnya, hewan tersebut di sembelih di hari ketujuh kemudian di beri nama (Ibnul Qoyim Al-Jauziyyah, 2003:75).
Upacara Akekah ini disimbolkan dengan pemotongan dua ekor kambing bagi bayi laki-laki dan satu ekor kambing bagi bayi perempuan (Koentjaraningrat,1994:395). Pemotongan hewan ini biasanya dilakukan pada pagi hari, kemudian hewan kambing tersebut di masak. Setelah daging kambing di masak, kemudian daging hewan tersebut dijadikan berkat untuk selamatan yang diadakan pada malam hari dan dibagikan kepada para tetangga.
Pelaksanaan Akekah/Ekah ini pada dasarnya memiliki tahapan yang sama dengan upacara selamatan pada umumnya. Satu anggota keluarga atau kerabat di utus untuk keliling dari rumah ke rumah memberitahukan kepada para tetangga, agar menghadiri selamatan (riungan/ngariung) pemberian nama pada bayi. Undangan dalam acara selamatan (riungan/ngariung) ini hanya di hadiri oleh kaum laki-laki. Sementara untuk kaum perempuan biasanya yang menghadiri hanya dari keluarga kerabat saja.
Biasanya upacara Akekah ini lebih ramai dari pada upacara Selamatan. Kebanyakan upacara Akekah dilakukan setelah waktu sholat Is’ya. Waktu tersebut di pilih, karena “panjang” untuk bertemu dengan waktu subuh, sementara bila menggunakan waktu antara Maghrib sampai Is’ya maka upacara Akekah tersebut harus kepotong dengan adanya shalat Is’ya. Hal seperti itu jelas sangat di hindari dan tidak disarankan oleh para Ustad atau Kiyai di kampung tersebut mengingat hal etis dalam menjalankan upacara Akekah.
Setelah para undangan sudah hadir dan mengisi tempat yang sudah disediakan oleh yang empunya hajat. Maka orang yang di percaya oleh empunya hajat langsung membuka dan memberikan kata sambutan. Kata sambutan ini lebih menjelaskan maksud dan tujuan akan acara tersebut serta menjelaskan runtunan jalannya acara. Setelah kata sambutan tesebut selelsai dilakukan, biasanya si pembawa acara menyerakan kepada seorang ustad untuk memulai jalannya acara. Bila Ustad yang menghadiri acara tersebut lebih dari satu orang, biasanya mereka membagi tugas di sela-sela waktu tertentu untuk melanjutkan rangkaian acara.
Pembagian tugas yang dilakukan oleh Ustad pertama pembacaan hadorot yang ditujukan kepada nabi Muhammad SAW, keluarga nabi, sahabat- sahabat nabi, kaum muslimin dan muslimat yang di iringi dengan pembacaan surat al-fatihah oleh semua undangan. Setelah pembacaan hadorot selesai, biasanya yang memimpin doa dilakukan oleh ustad lainnya yang menghadiri acara tersebut. Setelah doa selesai dilakukan, para undangan lalu berdiri untuk menyambut sang bayi yang akan di beri nama dan akan di potong rambutnya di bawa keluar.
Pembacaan asrakal dibacakan serentak oleh para undangan yang di pimpin oleh para santri. Sang bayi yang di bawa keluar, kemudian digedong oleh sang kakek/kerabat yang dituakan untuk mengitari para undangan sebanyak tujuh kali putaran. Peralatan yang di bawa berupa sesaji yang berisikan air kembang setaman, kalap hijau yang di hiasi oleh bendera yang terbuat dari uang kertas tertancap di kelapa hijau, serta peralatan cukur untuk memotong rambut si bayi.
Selama melakukan putaran sebanyak tujuh kali dengan diiringi oleh bacaan asrakal, seorang anggota keluarga yang mengikuti iringan si bayi dari belakang menyemprotkan minyak wangi kepada para undangan. Setelah tujuh putaran tersebut selesai dilakuakan, si bayi kemudian diletakan diantara para undangan. Biasanya pemotongan rambut pertama si bayi dilakukan sang kakek serta kerabat yang di hormati, kemudian dilanjutkan oleh pak Kiayi atau Ustad yang menghadiri acara di minta oleh pihak keluarga untuk ikut memotong rambut dan setelah itu mereka memberikan doa kepada si bayi.
Biasanya dalam upacara pemotongan rambut ini, tidak semua rambut bayi di potong. Ada rambut bayi di sekitaran ubun-ubun atau rambut yang berada di belakang disisakan sedikit. Hal ini di percaya oleh masarakat agar si bayi terhindar dari gangguan-gangguan mahluk halus (penoak bala). rambut yang di potong tersebut kemudian dikumpulkan, esok harinya rambut yang dikumpulkan tersebut di timbang dengan timbangan emas. Hasil timbangan dari rambut dijadikan sebagai bahan ukuran untuk dibelikan emas yang akan disidekahkan kepada pakir/kepada orang yang layak menerima sidekah. Adapun bila dalam proses kelahiran sang bayi di bantu oleh dukun bayi, emas yang dibelikan seberat rambut sang bayi, biasanya akan diberikan kepada dukun yang membantu mengurusi kelahiran.
Setelah upacara pemotongan rambut bayi tersebut selesai dilaksanakan, maka para undangan di persilahkan duduk kembali sambil menyantap hidangan yang disediakan oleh tuan rumah. Bila tidak ada acara lagi setelah pemotongan rambut, maka doa penutup akan segera dibacakan. Umumnya pada saat acara santai/ ramah tamah ini berjalan, acara di isi dengan siraman rohani oleh seorang mubaligh yang sengaja di undang oleh yang punya hajat. Tema yang dibawakan dalam siraman rohani ini, biasanya menyangkut dengan prihal penamaan pada bayi atau pada acara akekahannya.
Setelah acara siraman rohani yang dibawakan oleh mubaligh ini selesai. Acara selanjutnya yakni doa penutup yang dibawakan oleh seorang Ustad. Setelah doa penutup itu selesai maka para undangan dibagikan berkat dalam bentuk besek yang berisikan nasi, sayuran dan daging dari kambing yang di sembelih waktu pagi harinya untuk di bawa pulang oleh para undangan.
Bagi beberapa golongan masyarakat, setelah upacara selamatan akekah ini selesai biasanya ada acara tambahan yang tidak resmi yakni pembacaan riwayat/suluk Syeh Abdul Khadir Al-Jaelani atau sering di sebut dengan istilah wawacan/mocopatan. Bahasa yang digunakan dalam wawacan ini biasanya menggunakan bahasa Jawa Madya dengan menggunakan pakem pembacaan sastra dalam tradisi Sunda seperti kidung, kinanti atau dandang gula. Orang yang melakukan wawacan ini biasanya terdiri dari 2 sampai 3 orang secara bergantian. Bila jumlah wawacan yang di baca hanya berjumlah 15 pupuh, maka ke 15 pupuh tersebut di bagi ke dalam beberapa pupuh untuk dibacakan oleh ketiga pembaca tersebut secara bergantian. Acara tambahan ini dilakukan untuk mengharapkan berkah serta hidayah dari Syeh Abbdul Khadir. Pembacaan wawacan ini biasanya selesai jam satu atau jam dua malam, sehingga dalam melakukan runtunan acara akekah menghabiskan waktu 6 sampai 7 jam.

sekitar nama

Nama Diri Sebagai Pengingat Waktu
Para ilmuan membagi waktu menjadi periode-periode yang sama lamanya: periode ini disebut sebagai “jam waktu”. Akan tetapi, bagai beberapa teoterisi dan filusuf bahwa veris abstrak dari waktu ini tidak merefleksikan cara bagaimana kita benar-benar mengalami berlalunya waktu. Secara umum para ilmuan menganggap waktu sebagai medium yang homogen dimana semua kejadian mempunyai nilai dan besaran yang sama. Henry Bergson (1859-1941) memandang waktu sebagai sebuah durasi dan elan vital, ia menggunakan konsep durasi sebagai istilah untuk menggambarkan waktu sebagai mana sungguh-sungguh dialami. Artinya bukan momen demi momen, melainkan sebagai sebuah alur yang kontinyu dimana masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang benar benar-benar tidak dapat dibedakan (Cavallaro, 2004:329). Sementara bagi Durkheim membagi waktu dan ruang sebagai sebuah ritme kehidupan sosial dan wilayah yang di diami oleh masyarakat (Morris, 2003:162).
Anton Bakker menggolongkan pemikiran tentang waktu menjadi 4 golongan. Golongan Subjektivisme menyatakan: bahwa katu itu sesuatu yang tidak riil, hanya merupakan bentuk subjektif-individual yang hanya berasal dari pikiran. Ruang dan waktu hanyalah konstruksi pikiran yang bersifat relatif, terbatas dan ilusif. Pandangan ini tentunya berlaku di barat maupun di timur. Bagi dunia barat di mulai oleh Permenides dan zeno di jaman Yunani sampai pada Descartes, John Looke, David Hume, Kant, Hegel dan Campa di abad ke xx. Sementara di timur di wakili oleh kaum Budhis yang mengungkapkan “masa lalu, masa depan, ruang fiksi, individu-individu tak lebih dari deretan nama-nama. Bentuk pemikiran, kata-kata dari kebiasaan umum, sekedar realitas dangkal” ungkap kaum Budhis.
Golongan kedua adalah kaum Realisme Ekstreem yang menyatakan bahwa waktu itu realitas absolut otonom yyang universal, tidak memiliki kesatuan intrinsik tetapi hanya menunjukan urutan-urutan murni. Pandangan yang bersifat spiritual ini berkembang di kalangan filsuf India purba seperti yang terdapat pada kaum Jaina, Nyaiya dan kaum Vaisashika sekitar tahun 500 SM. Mereka menyatakan bahwa waktu adalah suatu substansi non-material yang riil. Substansi unitaris yang tak terbatas, abadi, noneksisten dan tak terbagikan. Waktu itu hanya satu yang menampung dan meresapi segala yang ada. Di samping itu ada waktu empiris yang memungkinkan adanya perubahan-perubahan, waktu empiris ini adalah hasil konvensi manusia yang diletakan atas waktu riil itu.
Golongan ketiga adaah golongan Realis Lunak, yang berpendapat waktu merupakan aspek perubahan riil, tapi dihasilkan oleh subjek dan terabstraksi dari pengkreatifitas pengkosmos. Para penganutnya seperti Aristotales, Agustinus, Thomas Aquinas dan Enstein. Golongan keempat yakni golongan Subjektivisme Lunak dan banyak dianut oleh kaum eksistensialis pernyataannya yakni “waktu itu memang riil, tetapi berciri melulu kualitatif, tidak bereksistensi dan tidak terukur sebab kesadaran manusia memang tidak bereksistensi” (Soemardjo, 2002:84-85).
Bagi masyarakat Balaraja, waktu dianggap menjadi bagian dalam diri masing-masing individu. Sebagai sebuah refresntasinya waktu bisa disimbolkan dengan sebuah nama yang di sandang oleh salah satu individu dalam setiap kalangan. pak H. Djaenur yang mengisahkan tetantang masa lalu dengan menggunakan istilah jenatna salah satu nama yang diangap si penyandang nama tersebut memang hidup pada masa tersebut.
“Baheula keur jenatna abah andik leutik, biasana lamun tos balik ulin. Sok ngalalaga wa aung. Pan wa aung mah jalemana mopod jasa. Mun urang nyaho ti jauh aya wa aung rek lewat, eta barudak nyararumput. Pas wa aung lewat, barudak ngakarosakeun tatangkalan laju saseurian. Pan pajaran kuntilanak nyangseurikeun tah, laju eta wa awung ber bae lumpat. Eta obor nu di bawa kajeun teuing paeh, teu malire. Ngke pas ngarumpul di imah, ku ibu dicararekanan. Di titah gageuraan sibanyo, soalna tadi wa a’ung tos disangseurikeun ku kintilanak datang ka pipir imah“ (Dahulu waktu jamannya Abah Andik masih kecil, biasanya kalau selesai pulang main suka menggoda Wa Aung. Kan Wa Aung itu orangnya penakut sekali. Kalau misalkan kita tahu dari jauh Wa Aung akan lewat, biasanya anak-anak bersembunyi. Saat Wa Aung melintas biasanya Abah Andik suka melempar pepohonan dengan batu lalu ketawa kecil. Biar di kira kuntilanak yang sedang menertawai orang yang sedang melintas. Setelah mendengar itu tanpa pikir panjang Wa Aung lari terbirit-birit sampai mati obor yang dibawanya beliau tidak mempedulikannya. Nanti setelah sampai rumah, biasany ibu pasti marah marah dan menyuruh anak-anak sebera mencuci kakinya. Karena mangingat akan cerita Wa Aung yang dikejar-kejar kuntilanak sampai pekarangan rumah).

Istilah jenatna (masa/jaman) merepresentasikan sebuah penggalan waktu yang bisa digunakan oleh masyarakat dalam mengisahkan sebuah cerita yang pernah terjadi. Istilah jenat (masa/jaman) hanya digunakan untuk mewakili seseorang yang pernah ada. Penggunaan nama seseorang dalam merefresentasikan penggalan waktu yang sudah berlalu, tentunya hal tersebut memeiliki alasan. Salah satu alasan yang diungkapkan oleh Pak Sasmita mengenai hal ini, beliau menjelaskan : biasanya penggunaan nama jenat, hanya digunakan untuk mengisahkan seseorang yang sudah meninggal, tentunya hal ini digunakan oleh sipenutur agar lebih mempermudah bagi seseorang yang mendengarkan untuk memperkirakan masa dalam angka tahun. Misalnya saja keur jenatna Abah Andik leutik (waktu jamannya Abah Andik kecil). Nah Abah Andik ini adalah adik dari H. Djaenur usia dari H. Dajenur sekarang 75 tahun. Berarti angka usia beliau sekarang di kurangi sekitar 70 tahun untuk menemukan masa anak-anak Abah Andik. Masa anak-anak itu bagi masyarakat Balaraja sekitaran usia 3-sebelum menginjak masa Akhil Baligh (bagi laki-laki) berarti sekitar 12 atau 13 tahun.
Penggunaan istilah jenat merepresentasikan akan keberadaan seseorang, walaupun orang tersebut sudah lama meninggal akan tetapi jiwa mereka masih dirasakan hidup. Hal tersebut tersirat dalam akhir cerita dengan kalimat “mudah-mudahan saja beliau diterangkan jalannya, diterangkan kuburannya di alam sana”.

sekitar nama

Nama Diri Sebagai Pengingat Peristiwa (Moment)
Saat seorang bayi lahir, baik itu perempuan ataupun laki-laki merupakan suatu hal yang di percaya oleh masyarakat sebagai sebuah berkah yang di berikan oleh sang pencipta kepada ciptaannya. Anak sebagai sebuah simbol titipan yang diberikan oleh sang pencipta kepada pasangan suami-istri diyakini akan membawa rejekinya masing-masing. Pak Umar mengungkapkan “jaman dahulu kalau orang tua cerita biasanya Saat memeperoleh anak, kebiasaan orang tua itu biasanya menanam salah satu jenis pohon di pekarangan rumah. Jenis pohon yang ditanam biasanya pohon nangka atau pohon kelapa. Nah, makanya oleh anak-anak sekarang biasanya sering dijadikan guyonan, karena penggunaan pohon itu tadi yang di samakan dengan usia seorang anak yang dilahirkan”.
Seperti yang diungkapkan oleh pak Suhendi saat memberikan nama pada anaknya, pada saat istrinya akan melahirkan beliau sedang menjalankan tugas ketentaraan di Dili, Timor-Timur. Beliau berpesan pada istrinya jika anaknya yang lahir itu berjenis kelamin laki-laki maka berikan ia nama Deliana dan jika yang lahirnya berjenis kelamin perempuan maka berikan ia nama Deliani. Hal tersebut ia pilih semata untuk mengenang sebuah peristiwa yang di alami dan juga untuk mengenang kalau pada saat itu sang ayah sedang bertugas di Dili Timor-Timur.
Agus Izudin mengungkapkan saat memiliki anak yang ke dua, pada saat itu terjadi sebuah peristiwa gerhana dan gempa. Maka untuk mangenang peristiwa tersebut beliau menggunakan kata Lindu nugraha (gempa yang terkena gerhana) di belakang nama anaknya. Nama tersebut digunakan untuk mengenang sebuah peristiwa gempa yang dirasakan di Balaraja.
Penggunaan nama sebagai salah satu representasi untuk mengingat sebuah peristiwa, tentunya tidak semua hal itu diberlakukan dalam setiap masyarakat. Kerena tidak setiap manusia memberikan makna yang sama pada setiap peristiwa, walau mengalami peristiwa yang sama. Mengenai seberapa pentingkah sebuah peristiwa tersebut berkesan kepada inividu, hal tersebut tergantung seberapa besar seseorang memaknai suatu peristiwa. Seperti yang diungkapkan oleh Suhendi :
“sebuah perisiwa yang istimewa yang saya alami sewaktu tugas di Dili, tentunya tidak akan saya lupakan begitu saja. Dan saya memberikan nama kepada anak saya, untuk mengenang peristiwa yang saya alami. Karena waktu tugas di Dili saya sering di serang oleh para gerombolan pemberontak dan saya hampir terbunuh. Untungnya saja saya masih bisa selamat, karena pada saat itu teman satu tim battalion saya ada juga yang meninggal padahal namanya sama dengan saya hanya saja takdirnya mungkin beda”.

Secara umum, manusia cenderung memisahkan peristiwa yang terjadi dalam istilah "baik" dan "buruk". Pemisahan tersebut sering bergantung pada kebiasaan atau tendensi peristiwa itu sendiri. Reaksi mereka terhadap peristiwa tersebut berubah-ubah tergantung pada kepelikan dan bentuk kejadian tersebut; bahkan apa yang akhirnya akan mereka rasakan dan alami biasanya ditentukan oleh kebiasaan sosial masyarakat (Freire, 2001:31).

sekitar nama

Nama Diri Sebagai Penanda Keberadaan Wilayah
Istilah wilayah dalam Ilmu Pemerintahan dijelaskan sebagai Wilayah Administrasi Pemerintahan yang dimulai dari manusia seutuhnya, rumah tangga, lingkungan rukun tetangga (RT), hingga rukun warga (RW), yang semuanya masih bersifat natural dan semiformal. Sedangkan yang bersifat formal selanjutnya adalah wilayah administrasi kelurahan, kecamatan, kabupaten atau kota, provinsi, hingga wilayah administrasi negara (Bun Yamin Ramto, http://www.kompas.com/kompas-cetak/0508/04/opini/1823264.html). Budiharsono (2001) menyebutkan definisi wilayah sebagai suatu unit geografi yang dibatasi oleh kriteria tertentu yang bagian-bagiannya tergantung secara internal dalam dimensi ruang yang merupakan wadah bagi kegiatan-kegiatan sosial ekonomi yang memiliki keterbatasan serta kesempatan ekonomi yang tidak sama (http://www.slideshare.net/oktavilia/perencanaan-pembangunan-wilayah).
Istilah bubuhan digunakan oleh masyarakat Balaraja untuk menjelaskan suatu wilayah. Bubuhan merupakan salah satu sub unit setingkat di bawah lembur (kampung), kumpulan dari beberapa lembur (kampung) kemudian diformalkan menjadi bagian dari birokrasi pemerintahan yang di sebut dengan Desa. Sebagai sebuah istilah yang lebih dahulu di kenal oleh masyarakat bila dibandingkan dengan istilah RT/RW. Maka penggunaan nama bubuhan jelas lebih sering digunakan ketimbang menggunakan nama RT/RW di lingkungan sosial masyarakat Desa.
Istilah bubuhan sebagai salah satu unit kelompok terkecil yang berada dalam sebuah Desa, biasanya dalam setiap bubuhan hanya berjumlah kurang dari 20 rumah saja. Sebagai salah satu kelompok sosial dalam masyarakat, maka untuk menjelaskan dan menyebutnya lebih condong pada penggunaan nama seseorang kokolot (orang yang dituakan) dalam kelompok tersebut. Misalkan saja bubuhan Pak Haji Danu, bubuhan Pak Haji Djaenur atau bubuhan Pak Acang.
Nama seseorang yang dituakan dalam bubuhan tersebut biasanya bisa dikenali sampai ke bederapa desa tetangga. Hal ini tentunya untuk memudahkan kelompok-kelompok dari bubuhan lain untuk saling berhubungan. Saat kita sudah kenal dengan kokolot dalam suatu bubuhan maka setiap individu akan memiliki akses untuk masuk kedalam kelompok tersebut. Hanya saja saat kita sendiri berada dalam kelompok dari bubuhan lain dan memiliki masalah (melakukan masalah dalam kelompok tersebut) maka orang yang dituakan dari bubuhan tersebut akan datang kepada kokolot yang berada di bubuhan kita tinggal untuk membicarakan dan mencarikan solusi akan masalah tersebut.
Nama kokolot dalam sebuah bubuhan secara tidak langsung menjadi refresentasi akan keberadaan suatu wilayah dimana seseorang itu hidup. Kokolot dalam setiap bubuhan memiliki peranan yang sangat penting dalam berbagai hal yang dialami oleh kelompok tersebut. Kejadian seperti musibah kematian yang terjadi pada warganya. Sebagai salah satu orang yang dituakan, saran serta nasehat dalam membereskan kejadian tersebut sangat dibutuhkan. Walaupun pada kenyataannya hanya yang lebih muda yang menjalankan segala teknis akan musibah yang terjadi.
Pada konteks sosial yang lain, sebuah nama terkadang dijadikan sebagai sebuah simbol kekuasaan dalam wilayah tertentu. Seperti halnya yang terjadi di pasar Sentiong, sebagai sebuah pasar terbesar yang berada di kecamatan Balaraja. Wilayah pasar tersebut terbagi dalam beberapa blok yang di kuasai oleh satu orang dalam setiap bloknya. Perenan penguasa blok, pastinya memiliki konsekwensi untuk memberikan jaminan kekamanan bagi para pedagang. Dalam hal ini sebuah nama akan memiliki pengaruh terhadap individu yang lain. Saat seorang inividu masuk kedalam sebuah wilayah tersebut, maka secara tidak langsung seorang individu tersebut harus mengenali siapa penguasanya.
Jika sebuah nama sudah melebur dengan diri seseorang dalam lingkungan sosial masyarakat dan menjadi sebagai salah satu simbol penguasa dalam suatu wilayah. Sebuah nama akan memiliki refresentasi nilai yang akan di anggap oleh masyarakat yang lain. Walau terkadang tidak sedikit orang yang menjual nama orang lain demi kepentingan sendiri. Sementara disisi lain orang yang menjual nama orang lain tersebut, tidak mengetahui kepada penyandang nama yang sudah dijualnya.
Menjual nama orang lain, biasanya digunakan untuk menghindari konflik yang akan terjadi. Misalnya saja, saat gesekan yang rawan akan konflik terjadi antar pemuda yang tidak saling kenal. Seorang individu bisa menjual nama orang lain dengan mengaku sebagai keponakannya, sepupunya bahkan kerabat dari orang yang sudah di jual namanya. Biasanya penggunaan nama orang lain untuk di jual bukan merupakan sesuatu hal yang bermasalah, bila nama yang digunakan (dijual) tersebut bertujuan demi kebaikan.

sekitar nama

Nama diri dan Sistem Kekerabatan Masyarakat Balaraja
Seorang peneliti bernama R. Hatley (1977) pernah menyelidiki sejumlah nama penduduk di Jawa. Ia menemukan beberapa nama yang menunjukkan asal lingkungannya adalah dusun-dusun agraris. Nama tersebut menunjukkan betapa erat kaitannya nama-nama mereka dengan dunia pertanian (www.surya.co.id). Di masyarakat Balaraja yang sebagian besar masyarakatnya memiliki pola pikir agraris, nama-nama yang mereka sandang dan yang mereka berikan untuk anaknya sangatlah sederhana. Hal ini didasarkan pada waktu dahulu para orang tua dalam memberikan nama pada anaknya hanya sebatas asal diberikan dengan tujuan bisa dijadikan ciri akan adanya seseorang. Nama-nama seperti Pengki, Pacul, Bedil, Mukri, cangklek sederetan nama tersebut pernah di temui dan tidak asing di telinga masyarakat Balaraja.
Keunikan sebuah nama yang ada di masyarakat terkadang dijadikan lelucon. Seperti lelucon yang diungkapkan oleh pak Umar :
“Suatu saat ada pedagang es keliling, saat pedagang es tersebut berhenti di salah satu rumah kemudian ada anak yang teriak keras “bedil yeuh tukang es” memanggil nama bedil dengan maksud memberi tahu kalau pedagang es yang ia cari sudah datang. Anehnya si pedagang es keliling tersebut malah lari ketakutan karena di kira mau di bedil (Nama lain dari senapan, hanya saja memiliki kesan lebih mengarah pada orang yang akan menembak)”

Keberadaan nama yang di sandang oleh setiap orang memiliki peranan penting dalam bergaul dilingkungan kerabat maupun masyarakatnya. Nilai etika di lingkungan keluarga dan kerabat bisa di lihat saat seorang yang lebih muda hanya memanggil Nama pada yang lebih tua. Bila posisi orang yang lebih muda di lihat dari silsilah kerabat memiliki posisi diatas dari yang di panggil nama saja maka hal tersebut bukan menjadi masalah. Akan tetapi bila yang lebih muda baik secara usia ataupun secara garis kerabat, maka orang yang hanya memanggil dengan namanya saja dianggap tidak memiliki etika dalam keluarga.
Nama diri di dalam masyarakat bisa berubah-ubah sesuai dengan perkembangan seseorang. Pada usia bayi walaupun sudah memiliki nama diri seseorang umumnya disebut dengan istilah Orok. Menginjak usia anak-anak, seseorang di panggil dengan nama panggilan/nama kecil umumnya di sebut N’ok (perempuan), budak/otong/aceng (laki-laki). Saat seseorang menginjak remaja di sebut N’ong/bibi (perempuan), Ujang/mamang (laki-laki).
Berubahnya nama paling jelas terlihat pada tahapan saat seseorang sudah dewasa bekeluarga dan memiliki anak. Umumnya untuk kalangan keluarga memanggil orang tua si anak dengan menyebut nama anaknya, sementara untuk kalangan sosial di panggil dengan nama Kang/Akang. Misalkan anak pertama bernama Eka, kerabat dekat (saudara yang lebih tua dari ibu/ bapak) memanggil orang tua si anak dengan sebutan Emana si Eka atau Bapana si Eka (Ibu/Bapak nya si Eka). Pada saat usia tua abah/ mpa, bila seseorang abah/mpa sudah melaksanakan Haji ke Mekah, maka sebutan Abah/ Mpa Haji untuk seseorang sudah dianggap mewakili sebagai penghargaan pada orang yang pernah melakukan Ritual Haji.
Jika seseorang telah meninggal dunia (almarhum/alm) Penggunaan nama bin digunakan di belakang nama seseorang mengacu pada ayah. Hal ini dianggap sebagai sebuah nilai representasi sang ayah kepada anaknya dalam istilahnya Kolot tea budak tapi anu ngarana budak teh lain kolot (orang tua itu adalah anak dan anak itu bukan orang tua). Penggunaan nama bin yang mengacu pada ayah tidak berlaku bila sang ayah melakukan Poligami. Nama bin diganti dengan nama binti mengacu pada orang tua perempuan (Ibu). Misalnya H. Apandi binti Hj. Jasirem bila mengacu pada ayah menjadi, H. Apandi bin H. Apak.

sekitar nama

Nama Diri dalam Tatanan Sosial di Masyarakat Balaraja
Masyarakat Balaraja memanggil satu sama lain dengan menggunakan panggilan kehormatan. Panggilan nama seseorang bisa di bagi kedalam beberapa golongan dan disesuaikan dengan tingkatan usia, urutan dalam kerabat, panggilan nama dalam pergaulan. Panggilan sebuah nama bisa membedakan adanya setatus seseorang di dalam masyarakat.
Seorang Ego bila mamanggil orang yang usianya masih di bawah biasanya memanggil seseorang dengan sebutan namanya, Otong, Ujang, atau Budak untuk menyebut anak laki-laki sementara untuk memanggil anak perempuan menggunakan kata N’eng, N’ok. Saat Ego memanggil orang yang seusia/sebaya, Umumnya menggunakan nama panggilan pergaulan. Bila orang yang di sapa tersebut belum di kenal akrab/dekat, biasanya penggilan tersebut menggunakan kata Mang atau Kang untuk memanggil laki-laki. Sementara untuk sebutan seorang perempuan dengan menggunakan kata bibi, teteh.
Panggilan untuk orang yang lebih tua biasanya memanggil dengan istilah Uwa, Abah, Nyai, Kai atau dengan istilah Ema. Memanggil orang dengan nama depannya langsung atau hanya memanggil namanya saja, hanya boleh dilakukan oleh orang sebaya atau orang lebih tua memanggil nama pada orang yang lebih muda. Memanggil nama secara langsung jika dilakukan oleh orang yang usianya lebih muda ke orang yang usianya lebih tua, biasanya akan dianggap tidak memiliki etika, tidak tahu tata-krama bahkan bisa di anggap tidak memiliki adat. Bila hal tersebut terjadi, biasanya orang tua yang dipanggilnya tersbut menanyakan pada orang yang bertanya tetang asal dan keluarganya.
Latar belakang sosial keluarga biasanya mempengaruhi nama yang akan diberikan. Seorang dari keluarga ningrat akan memberikan nama yang beda dengan golongan petani. Begitu juga dengan masyarakat yang sudah memiliki latar pendidikan yang cukup tinggi atau mempunyai pergaulan yang luas. Nama yang diberikan kepada anaknya akan sangat berbeda dengan orang tua yang hanya lulusan SD atau SMP. Latar belakang seseorang inilah yang akhirnya menjadikan nama anak lebih beragam di masyarakat (Sudiro, 2006 : 4).
Kuatnya latar belakang seseorang dalam meberikan nama pada anak, menjadikan tradisi pemberian nama tetap berjalan. Misalkan saja orang tua yang mempunyai latar belakang agama, nama yang diberikan kepada anaknya lebih mengacu pada nama-nama yang baik sesuai dengan ajaran agama. Dalam ajaran agama Islam khususnya, sebuah hadits mengatakan “berilah nama-nama yang baik kepada anakmu, karena di dalam nama terdapat doa”. Nama yang baik menurut ajaran agama adalah nama yang diambil dari kitab suci, diambil dari nama sahabat para nabi atau para golongan pemuka agama yang mempunyai tabiat baik di masanya (Ibnul Qoyim Al-Jauziyyah, 2003:79).
Bagi golongan ningrat, nama yang diberikan kepada anaknya lebih kepada mempertahankan gelar kebangsawanannya seperti nama depan seseorang tertulis Raden, PerMas, Tubagus. Bagi golongan masyarakat biasa, nama yang diberikan kepada anak hanya terdiri dari satu unsur suku kata saja. Hal ini tentunya terkait dengan padangan orang tua sendiri di dalam memaknai sebuah nama sebagai sebuah sebutan saja.
Nama diri yang hanya terdiri dari unsur satu kata saja misalnya nama : Juki, Janawi, Jakri, Sarta, Sapali, Zulkifli, Sarman, Sapei, Sartaman. Sementara nama diri yang terdiri dari dua unsur suku kata atau lebih, biasanya sudah terpengaruh dari tradisi sunda, agama atau golongan tertentu. Nama yang terdiri dari satu suku kata atau lebih seperti : Ahmad Junaedi, Indra Wira Sumitra, Aan Purnaerawan, Tajul Arifin, Asep Lindu Nugraha, Akhmad Subagja. Adapun bagi masyarakat Balaraja yang memiliki nama diri terdiri dari dua unsur suku kata atau lebih, menandakan suatu perbedaan status sosial atau golongan seseorang.
Bagi yang berlatar belakang pendidikan yang cukup proses pencarian nama biasanya lebih mencari pada referesi buku-buku yang berkaitan dengan penamaan. Nama-nama yang disediakan biasanya lebih dari tiga atau empat nama dan nama tersebut lebih bersifat umum. Sementara bagi keluarga yang berpendidikan sedang-sedang saja pencarian nama biasanya lebih mengarah pada salah satu nama saja. Terkadang bagi keluarga muda, mereka tidak mempedulikan sebuah nama yang akan diberikan kepada bayi mereka dan lebih menyerahkan pemberian nama itu kepada orang tua mereka.
Setiap manusia pasti memiliki nama kecil, nama ini bisa dikatakan sebagai salah satu nama sebutan yang resmi. Dalam artian resmi, karena baik lingkungan sosial maupun lingkungan keluarga mengakui akan keberadaan nama ini. Nama ini biasanya diberikan oleh keluarga dengan maksud untuk memudahkan dalam memanggil si anak. Biasanya orang tua hanya mengambil kata yang memiliki unsur yang sama dengan nama yang di miliki si anak. Misal saja namanya Tatang Suherman yang di panggil dengan sebutan Eman atau nama Wahyudin yang di panggil Udin. Sebenarnya nama Eman dan Udin ini bisa dianggap sebagai nama pasaran karena dalam satu kelompok nama tersebut bisa digunakan oleh lebih dari dua, tiga orang.
Awal masuk ke dunia sosial anak, nama kecil (panggilan) ini biasanya digunakan oleh si anak untuk memperkenalkan dirinya. Saat sudah memperkenalkan dirinya, nama si anak tersebut tidaklah tertutup. Walaupun teman-temanya mengetahui nama kecilnya, belum tentu si anak itu akan di panggil dengan nama kecil. Bisa saja ia di panggil si gendut bila secara fisik bentuk tubuh si anak itu gendut. Hal tersebut sah-sah saja digunakan bila memang kenyaataanya demikian, orang tuanya sianak tidak akan marah anaknya di panggil si gendut.
Pemberian nama yang mengarah kepada bentuk fisik ini dijadikan sebagai alat pembeda jika seseorang memiliki nama panggilan yang sama. Misalnya saja jika ada tiga nama Eman dalam satu dusun, di Balaraja nama tersebut adalah nama yang umum digunakan. Untuk membedakannya biasanya ada penambahan nama menjadi Eman Kumis karena dari sekian banyak nama Eman cuman ada satu nama Eman yang memiliki kumis besar. Ada Eman Sopir, di beri tambahan sopir karena propesi pekerjaannya menjadi sopir angkutan umum. Sementara yang ke tiga tetap menggunakan nama Eman, karena Eman yang lain sudah ditambahkan nama panggilannya. Penambahan nama dalam nama panggilan sebenarnya hanya akan berpengaruh pada pemanggilan seseorang yang bersangkutan dengan nama tersebut. Disisi lainnya dengan adanya nama tambahan ini, menjadikan identitas seseorang makin jelas terlihat di dalam menjalankan pergaulan di masyarakat.
Nama diri yang diberikan oleh orang tua, biasaya tidak digunakan dalam pergaulan bahkan tidak berlaku. Rata-rata setiap orang memiliki nama panggilan sendiri (nama alias), hal tersbut biasanya dianggap sebagai tanda seseorang menginjak remaja. Nama panggilan (alias) biasanya hanya berlaku di luar rumah dan hanya berlaku di lingkungan pergaulan saja. Di beberapa kelompok masyarakat nama alias ini digunakan juga di lingkungan rumah. Penggunaan nama alias biasanya akan berakhir saat seseorang sudah memiliki anak. Bila nama alias ini sudah melekat di sandang oleh seseorang, biasanya penggunaan nama ini digunakan sampai akhir hidupnya.
Riyadi (1999) mengungkapkan, Nama alias atau nama panggilan adalah nama seseorang yang bukan nama asli yang tidak diberikan oleh orang tua. Nama alias bersifat tidak resmi, namun bersifat sosial dalam suatu komunitas tertentu. Nama alias bisa jadi diambil dari bagian dari nama orang itu sendiri dan/atau bahkan sama sekali tidak ada kaitannya dengan nama orang tersebut. Pengambilan nama alias biasanya berasal dari bagaimana seseorang melihat dari sesuatu fisik yang paling jelas di lihat oleh orang lain. Nama alias ini juga bisanya diambil dari kebiasaan yang dikerjakan atau tingkah laku dari orang tersebut (Wibowo, 2001 : 44).
Nama alias bisa saja terdengar dan terasa kasar serta tak menyenangkan, khususnya apabila digunakan orang yang membenci orang yang dijulukinya. Namun sebaliknya nama panggilan akan terdengar dan terasa manja bila dipakai oleh orang yang mencintai atau menyayangi orang tersebut. Pada dasarnya nama alias ini memiliki prinsip yang sama dengan nama panggilan. Nama alias ini juga, diberikan dengan tujuan untuk memanggil seseorang.
Seseorang bisa memberikan nama aliasnya sendiri sesuai yang dikehendakinya. Saat nama tersebut diperkenalkan ke kelompoknya, biasanya kelompoknya memiliki penilaian sendiri. Jika cocok dan nyaman diucapkan maka akan digunakan, namun jika tidak cocok tidak enak diucapkan maka nama alias tersebut tidak digunakan, sehingga kelompoknya tersebut yang akan memberikan nama alias. Seperti halnya yang terjadi pada kasus pemberian nama alias yang terjadi pada Ali :
Nama alias Angling yang digunakan oleh Ali, nama Angling tersebut sebenarnya diberikan oleh Madsoleh (madoli). Awalnya pemberian namapun seperti tidak direncanakan. Ketika itu Ali memperkenalkan diri bukan menggunakan namanya, tapi dengan menggunakan nama Fery. Hampir semua orang yang ada di tempat tersebut tertawa mendengar nama itu. Tanpa tidak di sadari, Madsoleh ini berkata: “Sudahlah…namamu Angling saja, itu lebih keren”. “Wah..apaan tuh artinya…?udah kaya di film-film aja nama itu. timpal Ali”. “Emang, jawab madsoleh”. “Emm…boleh deh. Ali seolah merasa nama angling tidak bermasalah”. Dengan dipersepsikan oleh Ali, nama Angling memang diambil nama seorang tokoh dalam film Angling Darma. Sebebarnya Madsoleh sendiri memberi nama Angling diambil dari kata Ali keling (Ali yang berbadan gelap).

Wasiyati (2000) menjelaskan : Nama alias di masyarakat sendiri memiliki fungsi untuk membedakan bila ada di dalam kelompok masyarakat memiliki nama yang sama. Di sisi yang lain, nama alias secara tidak langsung untuk menghilngkan identitas dari nama sebelumnya. Tujuan dari nama alias ini biasanya lebih mengarah pada eksistensi seorang remaja seiring perkembangan usia dalam pergaulannya (Wibowo, 2001:45).
Nama alias ini akan diperlakukan sama dengan nama sebenarnya. Sebagai sebuah identitas yang baru, nama alias ini banyak tertulis di tembok-tembok pinggiran jalan. Hal ini menunjukan adanya exsistensi si penyandang nama tersebut. Penulisan nama di tembok tersebut biasanya dimaknai akan keberadaan nama seseorang/kelompok di wilayah tersebut. Jika nama alias tersebut perlakukan tidak baik (di coret), maka si penyandang akan merasa tersinggung (Wibowo, 2001:46).
Seperti halnya kasus pencoretan nama Galing (Ichwan Nurhakim), dalam waktu beberapa minggu beliau masih mencari orang yang sudah mencoret namanya. Untung saja orang yang sudah mencoret nama galing tersebut tidak ketahuan. Karena perkelahian pasti akan terjadi, saat sebuah nama alias di coret. Ichwan mengungkapkan :
“Pencoretan nama saya, saya anggap orang tersebut sudah nantangin. Dengan mencoret nama galling berarti orang tersebut tidak lagi menganggap akan adanya diri saya di kampung sini. Untung aja tuh yang mencoretnya tidak ketemu, kalau ketemu saya tanyain maksudnya apa”.

Keberadaan nama alias di masyarakat balaraja sudah menjadi hal yang sangat umum berlaku di masyarakat. Di setiap desa, nama alias ini selalu disandang oleh para remaja. Oleh karenanya satu orang bisa memiliki beberapa nama misalkan nama Uus Rusmiadi nama panggilan di rumah Uus sementara nama panggilan di lingkungan pergaulan menggunakan nama Oking. Setelah ada orang dari kampung lain menggunakan nama yang sama kemudian mempunyai masalah dengan perempuan yang di cari malah Uus Oking bukan yang membuat masalah yang namanya Wawan Oking karena kasus tersebut akhirnya Uus Oking ini mengganti lagi nama aliasnya dengan nama Penyu. Nama Ahmad Junaedi, di rumah panggilannya Une sementara di luar di panggil Jambrong.
Nama Muhamad Rahmat dirumahnya di panggil nama Mamat, sementara di luar di panggil dengan nama Karyo. Nama Karyo awalnya hanya berlaku di teman-teman sebayanya, sebagai seorang anak yang punya kelompok bermain sendiri yang terdiri dari 3 orang. Mengingat pada saat itu ada Grup Lawak Patrio, kemudian mereka mengganti namanya mengikuti grup lawak. Nama-nama yang di sandang pada saat itu Karyo untuk menyebut nama Muhamad Rahmat, Karso untuk mengganti nama Ahmad Wasiudin dan Karsa untuk menyebut nama Abdul Ra’uf Rohim. Dalam perkembangannya justru hanya nama Karyo yang lebih terkenal dan menggantikan nama panggilan, sementara nama-nama yang lain tidak terkenal dan mereka tidak lagi mengenakan nama alias itu. Sepertinya nama alias ini dijadikan salah satu pra-syarat bagi seseorang untuk bergabung ke dalam komunitas yang lebih besar di masyarakat.
Wilayah sosial lainnya, nama profesi digunakan oleh masyarakat untuk menyebutkan seseorang yang bergerak sesui dengan perannya di masyarakat. Seseorang akan di panggil dengan nama Tad (Ustad) bila orang tersebut dianggap memiliki pemahaman keagamaan yang cukup. Nama Ustad adalah gelar diberikan oleh masyarakat setelah seseorang menamatkan dalam belajarnya di bidang keagamaan dan mengaflikasikannya di masyarakat. Seseorang akan di sebut dengan gelar Kiyai apabila para santri yang sudah keluar dari pesantrennya banyak yang jadi Ustad dan menyebarkan Syi’ar agama di masyarakat.
Penggunaan nama profesi biasanya dilakukan untuk memanggil sekaligus menghargai dan menghormati sebuah bidang yang dikerjakan. Bila seseorang yang berpropesi sebagai pengajar, biasanya dipanggil dengan menggunakan Ru (Guru). Sementara bila bagi para Polisi/TNI biasanya panggilan akan lebih mengarah kepada nama jabatan dan pangkatnya. Misalkana saja seseorang memiliki pangkat Sersan, biasanya di panggil dengan kata San. Bagi yang memiliki pangkat diatas kapten biasanya di panggil dengan kata Ndan (Komandan). Penggunaan nama panggilan Dok (Dokter) juga berlaku di masyarakat.
Penggunaan nama jabatan ini menunjukan akan status seseorang dilingkungan tempat tinggal. Jabatan yang digunakan sebagai pengganti nama kebanyakan hanya berlaku pada jenis profesi yang sifatnya mengabdi kepada Negara (PNS). Sementara bagi para pekerja di bidang swasta, setinggi apapun jabatannya mereka tetap saja tidak pemanggilan dengan nama profesi tidak dilakukan oleh masyarakat umum. Dalam bidang ini, penggunaan nama profesi hanya berlaku dilingkungan yang lebih kecil. Misalkan saja seorang Mandor proyek, ia akan di panggil dengan kata N’dor (mandor) oleh anak buahnya. Nama profesi seorang mandor tidak digunakan saat mandor tersebut berada di ruang sosial masyarakat.

sekitar nama

Nama Diri dalam Tatanan Kebudayaan di Masyarakat Balaraja
Nama adalah sebutan yang digunakan oleh manusia. Umumnya nama digunakan untuk membedakan sebuah benda, tempat atau menjadi pembeda antar manusia (Sudiro,2006:3). Hiliday (1972) menyebut Nama sebagai fungsi ideasional, artinya segala entitas nyata maupun abstrak memerlukan ciri. Sementara menurut Lenenberg (1967) “capacity of meaning” Nama digunakan untuk menjadi pembeda dengan binatang. Binatang dapat memiliki nama, sementara tidak kuasa memberikan nama dan manusia mampu memberikan keduanya (Subagyo : kompas,6/ 29 maret 2008).
Dalam ilmu kebahasaan nama diri belum banyak di teliti, padahal menurut Malino (1982) dalam tulisan moralitas makna mengatakan : sejak awal tersusun bahasa barat pada awal abad 4 Masehi pakar bahasa Latin Aelius Donates telah menyatakan “nomina” bersifat ganda: sebagai nama seseorang/nama diri (mom propre) dan untuk menyebut nama benda secara umum (mom commun)”. Nilai yang terkadung dalam nama ini biasanya mengacu pada sebuah objek yang di dapat saat memulai memberikan nama. Dalam istilah Platonisme : “the name mean the object, the object is it’s meaning”. Oleh karenanya, nama bisa memiliki korelasi dengan struktur sosial masyarakat ataupun dengan nilai-nilai tradisi yang dipegang oleh setiap masyarakat (Subagyo; kompas : 6/ 29 maret 2008).
Andrew Lang dalam buku totem dan tabu mengatakan : ”Suatu nama yang ada dalam diri itu penting, sehingga akan mengantarkan kita sampai pada suatu gagasan yang mencakup dalam sistem nilai. Bagi manusia primitif, bagi manusia liar di jaman sekarang, dan bahkan bagi anak-anak kita. Nama bukanlah sesuatu hal yang ”bisa diabaikan” dan ”biasa saja” seperti dalam anggapan kita. Akan tetapi nama merupakan sesuatu yang penting dan esensial. Nama seseorang adalah salah satu konstituen utama dari kediriannya dan mungkin adalah bagian dari psyche-nya ( Freud, 2002:179)”.
Nur Jahro salah satu informan menjelaskan konsepsi sebuah nama dan letak Nama yang dijadikan identitas “kedirian” sekaligus yang meberikan sifat pada masing-masing unsur pada diri manusia. Beliau mengatakan :
“Sebuah perwujudan sudah pasti ada bentuk dan wujudnya. Wujud adalah salah satu bentuk yang diperwujudkan. Adanya wujud karena adanya bentuk, perwujudan itu ada karena pernyataan dari adanya sang wujud yang di bentuk oleh perbentukan. Perbentukan ini adalah proses yang menjadikan penggabungan adanya tiga hal yang saling berkaitan”.
Dari keterangan gambar di atas : manusia diistilahkan sebagai sebuah konsepsi yang pasti memiliki ”wujud”. Dalam menjelaskannya bisa di pahami melalui definisi-definisi yang mengacu pada keberadaan tiga hal yakni wujud, mawujudatz (perwujudan) dan bentuk. Acuan pendefinisian tersebut pada dasarnya hanyalah refresentasi dari yang tiga hal tersebut. Wujud diartikan dengan ”ada” bersifat mutlak, tanpa bentuk dan perwujudanpun sebenarnya sebuah wujud itu sudah pasti adanya. Hanya saja saat wujud ini berkorelasi dengan hal yang lain dalam tatanan kehidupan. Ia kemudian direfresentasikan melalui bentuk dan perwujudannya agar bisa dinyatakan keberadaannya.
Bentuk lebih menjelaskan ke dalam wilayah persepsi yang ada dalam pikiran manusia. Persepsi ini biasanya di konstruksi oleh pengalaman atau pemahaman yang diambil karena adanya sebuah perwujudan yang pernah di temui. Misalkan saja yang di sebut salah satu mahluk manusia itu memiliki ciri tangan, kaki, tubuh, kepala. Pada kenyataanya yang memiliki ciri-ciri tersebut bukan cuman manusia. Binatang seperti kera, orang utan memiliki ciri yang sama dengan yang di miliki oleh manusia. Sehingga dalam tatanan persepsi ini sebuah pernyataan bahwa: ini yang di sebut manusia, ini yang di sebut kera, ini yang di sebut orang utan, tidak akan bisa dikategorikan untuk menjadi pembeda dari mahluk yang memiliki ciri yang sama.
Perwujudan itu adalah sesuatu hal yang nyata, bisa di lihat oleh mata, di pegang atau di raba oleh tangan, di respon oleh alat indra manusia lainya yang difungsikan. Saat sebuah perwujudan, bentuk dan wujud itu menyatu menjadi satu kesatuan yang saling terkait adalah sebuah hal yang bisa dinyatakan, untuk dijadi pembeda dari yang sudah dipersepsikan dalam sebuah bentuk. Hal ini kemudian di sebut sebagai akhir dari proses adanya mahluk yang di sebut manusia dengan bentuk dan perwujudanya seperti yang di kenali dan bukan Cuma dipersepsikan saja.
Keberadaan nama di dalam konsep tersebut, digunakan sebagai sebuah ciri (penanda) dari yang di beri ciri dan pemberi unsur sifat dari penanda. Sifat tersebut yang kemudian menjelaskan karekter akan keberadaan unsur-unsur yang terkandung di dalam penanda tersebut. Sifat ini jugalah kemudian dapat menjelaskan melalui pendefinisian sesuatu hal yang ”ada” bisa dijelaskan keberadaannya sebagai objek yang ”mutlak”.
Wittgenstein dalam buku filsafat Analitis mengatakan : ”nama itu adalah sebuah simbol yang sederhana, maka untuk menguraikannya hanya dapat dilakukan melalui definisi. Dalam hal ini langkah definisi akan sama dengan deskrifsi pada proporsisi komplek. Kompleksitas nama orang tidak menyatakan apapun kecuali menjadi pembeda dengan yang lain. Nama real dari suatu objek fakta empiris, memiliki konsekwensi struktur logis dalam hubungannya dengan nama lain. Jadi, nama sebagaimana dimaksudkan sebagai suatu unsur yang membentuk sebuah proporsisi adalah nama yang hanya memiliki satu cara menjadi benar atau salah (Kalean, 2004:81)”.
Kata nama diri dalam seseorang adalah sebuah Interpretan (I) dari suatu tanda, tidak menutup kemungkinan untuk menjadi tanda baru subjek (S) pada proses berikutnya. Tanda baru tersebut kemudian akan memiliki objek dan Interpretan baru pula, dan seterusnya hal ini kembali berulang. Proses semiosis dari nama diri, bila kita menggunakan pemahaman Pierce tentang tanda dan acuan terkait dengan Nama Diri,
Di Indonesia keberadaan nama diri tidak hanya terpaku sebatas sebutan saja. Nama memiliki nilai dan arti yang lebih bagi si pengguna. Nilai lebih ini biasanya diartikan sebagai pemberian dari orang tua ataupun legalitas sebuah keluarga. Lebih jauh dari itu, sebuah nama bisa melambangkan gelar kebangsawanan khusus yang hanya boleh digunakan oleh salah satu golongan saja (Ayatrohaedi, 1996:89).
Nama-nama yang diberikan orang tua kepada anak-anak mereka bervariasi tergantung dari asal pulau, Suku, Kebudayaan, Bahasa, dan Pendidikan yang diterima orang tua mereka. Masing-masing suku bangsa di Indonesia biasanya memiliki cara penamaan yang spesifik dan mudah dikenali, misalnya nama-nama yang berakhiran Na- atau ada huruf yang di ulang misalkan Nana Sumarna, Tatang Supriatna, hampir selalu menunjukkan sang penyandang nama berasal dari keluarga Sunda / lahir di Sunda (nama Sunda).
Memberikan persembahan nama yang terbaik bagi anak adalah kewajiban bagi setiap orang tua. Sebagai sebuah hadiah terbaik yang pertama kali diberikan oleh orang tua kepada bayi yang baru dilahirkan. Bagi orang tua dimanapun, tentunya tidak menginginkan mendapat suatu kesan buruk di masyarakat setelah memberikan nama pada anaknya. Saat memberikan hadiah tersebut, mungkin saja bagi beberapa golongan sangat mempertimbangkan makna yang terkandung dalam nama. Pada sebagian golongan masyarakat yang lain, memberikan hadiah nama pada anak lebih berpatokan pada fungsinya saja, enak di dengar atau gampang diucapkan (Sukma, 2005:10).
Memilih nama yang baik untuk bayi bukan merupakan perkara sulit tapi tidak mudah juga. Oleh karenanya dalam memberikan nama, biasanya orang tua si bayi meminta pendapat orang yang lebih tua dengan segala pertimbangannya. Seperti halnya yang dilakukan oleh pak Sasmita yang selalu di minta oleh anak perempuan pertamanya untuk memberikan nama pada cucunya. Hal ini dilakukan semata untuk menghargai dan mengharapkan do’a dari orang yang sudah memberikan nama tersebut.

sekitar nama

Tradisi Pemberian Nama Kepada Anak di Kecamatan Balaraja
Masyarakat Indonesia memberikan nama kepada anak-anak mereka dengan berbagai cara. Sehingga aturan dalam memberikan nama pada anak, disesuaikan dengan tradisi dan kepercayaan masyarakat setempat. Banyaknya cara pandang dan tidak adanya aturan baku yang berlaku di masyarakat dalam memberikan nama pada anak, menjadikan hal pemberian nama ini lebih berisfat terbuka.
Proses dalam memberikan nama pada anak tentunya bukan merupakan perkara yang mudah dan bukan juga perkara yang sulit. Proses pencarian nama dilatar-belakangi oleh masing-masing keyakinan orang tua. Pertimbangan-pertimbangan “yang lain” saat seseorang harus berkonsultasi dahulu dengan orang tua ataupun dengan orang yang dituakan (kokolot). Konsultasi ini dilakukan baik sebelum ataupun sesudah nama itu diberikan kepada anak. Umumnya memang dilakukan sebelum nama itu diberikan.

Proses Pencarian Nama dan Faktor yang Dijadikan Pertimbangan dalam Memberikan Nama
Proses pencarian nama bagi keluarga baru biasanya dilakukan setelah kehamilan melewati usia kandungan 7 bulan. Sebelum usia kandungan melewati 7 bulan pantangan-pantangan (pamali) bagi seorang ibu hamil sangatlah banyak. Istilah pamali ini juga berlaku dalam mencari nama sebelum usia kandungan sampai pada 7 bulan. Bagi keluarga muda baik yang memiliki latar pendidikan yang cukup ataupun biasa saja, kelahiran anak pertama sangat dinantikan. Oleh karenanya biasanya mencarikan nama buat anak yang mereka kandung sudah dipersiapkan jauh-jauh hari sebelumnya, setelah usia kandungan lewat dari 7 bulan.
Penamaan pada masyarakat Balaraja yang masih memegang tradisi dari leluhurnya, seperti yang diungkapkan pak umar :
“idealnya dalam meberikan nama pada anak mengambil salah satu unsur hurup dari nama orang tua. Memberikan nama pada anak, bila yang diberikan nama tersebut seorang Perempuan maka mengambil dari salah satu unsur Ayah. Bila anak yang di beri nama tersebut berjenis kelamin laki-laki maka akan mengambil dari salah satu unsur dari orang tua Perempuan/Ibu”.

Persilangan dalam acuan unsur nama ini lebih menekankan, agar si anak memiliki dan membawa salah satu unsur yang jelas dari karakter yang berlainan. Melihat dari struktur fisik anak, bisa terlihat dengan jelas oleh mata (Perempuan atau Laki-laki). Unsur nama yang di ambil dari unsur nama orang tua, dimaksudkan agar secara spirit bagian dari jiwa orang tua tercermin dari sebuah nama yang di sandang oleh anak.
Bagi beberapa keluarga yang masih memegang teguh tradisi dalam memberikan nama pada anak, dapat tercermin dalam sederetan nama anaknya. Sehingga keberadaan nama diri di Balaraja menjadi unik. Bila menggunakan pemahaman dari Trikotomi Pierce : “nama orang tua adalah satu acuan yang dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk tanda. Tanda-tanda tersebut yakni : unsur hurup dalam nama, kesamaan hurup dalam nama dan identitas sebuah keluarga yang tercermin dalam nama”.

Nama anak dalam satu keluarga akan memiliki beberapa kata yang sama dengan orang tuanya. Kesamaan kata tersebut berada diawalan maupun pada akhiran sebuah nama. Misalnya saja dalam keluarga bpk Sarmala (alm) dan ibu Armah dengan nama anaknya yang pertama Amsin, Amsudin, Asmarudin, Amsari. Nama Armah dijadikan sebagai acuan, hurup A dan M di ambil dari unsur nama Armah dan kesamaan karakter dari keseluruhan nama anak dijadikan identitas keluarga. Sama seperti halnya pasangan Umar dan Naming yang memiliki nama anak yang di beri nama Sujatna, Sunarto, Sunarjo, Sigit Sugianto jika mereka mempunyai anak perempuan maka namanya Siti Umayah. Unsur huruf N dan A diambil dari unsur nama Ibu. Nama anak yang mengacu ke ayah misalkan nama Sartinah, dengan ayahnya bernama Sargani. Huruf Sar mengambil dari unsur kata dari ayah. Nama anak yang mengambil dari unsur kedua orang tua misalkan di keluarga Muhamad Yakub dan Sari yang mempunyai anak Laki-laki di beri nama Muhamad Mulyasari unsur huruf ya diambil dari unsur nama bapak dan sari dari unsur nama Ibu.
Mencari nama yang baik untuk diberikan kepada anak, dapat dilakukan dengan cara yang berbeda-beda. Misalkan saja yang dilakukan oleh pak Irianda saat di minta memberikan nama cucunya:
“Pada saat saya di minta memberikan nama pada cucu saya yang pertama, yang saya lakukan dalam mencari nama dengan jalan merenung dengan menggunakan insting dan hati nurani yang ada dalam diri saya selama beberapa hari. Memilih-milih nama, kemudian saya refleksikan di dalam diri saya. Saya bolak balik tuh nama, kemudian saya maknai nilai-nilai apa saja yang terkandung di dalam nama tersebut akhirnya saya dapat nama fikri (Laki-laki yang berakal) dan sekarang nama tersebut di sandang oleh cucu saya.
Pertimbangan dalam memberikan nama pada cucu saya ini, di dasari hadis dari nabi (di dalam ajaran islam). Saya sendiri meyakini kalau pertimbangan dengan berlandaskan hadis itulah sebagai sebuah pertimbangan yang ideal. Sehingga pada suatu hari harapan kami sendiri, saat si anak itu besar ia mampu menjalankan hidupnya kelak sesuai dengan yang diharapkan oleh orang tuanya dan keluarga besar kami khususnya. Semoga saja ia memahami makna dan nilai-nilai yang terkandung didalamnya.
Memberikan nama pada cucu ini jelas sangat beda pada saat saya memberikan nama anak perempuan saya. Kebetulan saya sendiri sebagai orang yang mengagumi Bung Karno, makanya dalam meberikan nama anak perempuan saya menggunakan nama yang di sandang oleh anak-anak perempuan Bung Karno misalnya saja nama Mega Rosmala, nama tersebut saya ambil dari nama kecilnya Mbak Mega. Nama Nur Sukma Dewi saya ambil dari nama Mbak Sukma Dewi dan anak perempuan saya terakhir saya beri nama Diah Bayu Rini saya ambil nama tersebut dari nama salah satu papiliun Istana Bogor. Hal tersebut tentunya akan lain jika yang saya kagumi itu artis atau salah satu tokoh kenegaraan dari negara lain, mungkin saja nama anak saya akan saya ambil dari nama kecil, nama panggilan akrabnya atau nama pergaulannya”.

Penggunaan isting ini, biasanya banyak dilakukan. Selain lebih mudah untuk dilakukan dan dijalankan, beberapa informan yang saya temui menganggap mudahnya hal ini karena dalam mencari nama bisa dilakukan di sela-sela kesibukan saat seseorang melakukan aktifitasnya, jadi bisa lebih praktis. Seperti yang dilakukan oleh Jenur dalam mencari nama untuk anak perempuannya, beliau menemukan nama buat anaknya yaitu Nur Kholifah, nama tersebut ia dapatkan untuk mengenang sebuah moment perjalanan yang sedang dijalankan oleh bapaknya (Jenur). Setelah menemukan nama itu kemudian beliau memberi-tahukan kepada sang istri (ida). Dengan adanya nama tersebut sang istri tidak mempermasalahkan, karena sang istri ternyata sudah menemukan nama buat anak perempuannya dengan nama Siti Wardah. Akhirnya sebagai sebuah kesimpulan mereka berdua menggabungkan dua nama tersebut menjadi Siti Wardah Nur Kholifah.
Setelah sang anak resmi memiliki nama tersebut dengan acara selamatan, beberapa hari kemudian Jenur ini mengajak saya pergi kerumah Kokolot (orang yang dituakan) bernama pak Ahmad Rofe’I (pak Amad). Setelah sampai di sana ia memberitahukan kalau anak perempuannya sudah di beri nama Siti Wardah Nur Kholifah. Setelah menengar kabar tersebut, kemudian Pak Ahmad ini terlihat merenung sejenak sambil jarinya bergerak-gerak menghitung ruas-ruasnya. Setelah hal tersebut selesai dilakukan, selanjutnya Pak Ahmad ini menyarankan kalau nanti sebelum usia si bayi ini akan menginjak 40 hari dari hari ke 38 - hari ke 40, selama tiga hari bibir si bayi ini di olesi madu.
Saya sendiri sempat menanyakan kepada pak Amad ini, kenapa musti di olesi madu? Beliau hanya tersenyum saja dan tidak memberikan jawaban yang memuaskan. Alasan tersebut menurut penjelasan pak Haji Janawi :
“sebagai sebuah bahan untuk menetralisir kondisi tubuh sang bayi. Kondisi tubuh sang bayi itukan memiliki karakter yang panas, dan untuk menyetabilkannya dengan menggunakan madu. Secara simbolis bila di lihat dari kepercayaan, penggunaan madu ini dimaksudkan agar nantinya si anak bisa berbicara manis (sopan-santun dalam berkata) seperti madu”.

Pencarian nama dengan menggunakan perenungan yang lebih menitik beratkan pada instuisi merupakan hal umum yang biasa dilakukan oleh masyarakat. Lain hal yang dilakukan oleh Dahlan, pada saat usia kehamilan istrinya menginjak tujuh bulan, setiap habis sholat maghrib ia menyempatkan membaca ayat Al-quran surat maryam dan surat yusuf minimal satu kali dalam sehari. Dahlan sendiri meyakini dengan membaca surat tersebut anaknya kelak akan mendapatkan berkah dan hidayah seperti halnya isi kandungan dalam surat tersebut.
Pembacaan ayat Al-quran yang rutin dilakukan sampai si istri melahirkan. Dalam perjalananya, pada suatu malam Dahlan memimpikan kedatangan seorang anak kecil berjenis kelamin laki-laki. Beliau menganggap kalau yang datang dalam mimpi itu adalah anaknya kelak dengan jenis kelamin laki-laki. Karena adanya sebuah kejadian dalam mimpi, akhirnya Dahlan memfokuskan mencari nama untuk anaknya tersebut dan mendapatkan nama Andaru (nama salah satu rasi bintang/bahasa sansekerta). Nama anak tersebut didapatkanya tiga hari setelah sang istri melahirkan anak. Setelah Dahlan meminta saran dan nasehat dari orang, ternyata mereka (si orang tua) tidak mempermasalahkan jika cucunya di beri nama tersebut.
Di beberpa daerah lainnya R. Hasan Mustapa dalam buku Adat Istiadat Sunda menjelaskan : “pemberian nama dengan cara di undi. Yakni tiga buah nama di tulis pada sebuah kertas, kemudian di potong menjadi tiga bagian kemudian di gulung. Biasanya nama yang ada dalam gulungan kertas tersebut adalah nama-nama yang yang di berikan oleh orang tua atau Kokolot daerah setempat. Seterlah gulungan itu jadi kemudian dimasukan ke dalam sebuah tempat dan diserahkan kepada si ibu. Kemudian si ibu tersebut mengambil salah satu kertas gulungan tersebut dan di sanalah nama yang di ambil akan di sandang oleh si bayi (Mustafa, 1996:35)”.
Bagi beberapa pasangan muda, proses pencarian nama biasanya lebih praktis. Unsur-unsur nama yang diambil lebih banyak menggunakan referensi dari buku, media elektronik. Nama yang akan diberikan untuk anak lebih berpatokan pada kekinian. Mereka lebih menggabungkan beberapa unsur antara agama, tradisi tetapi bila diucapkan atau disebutkan lebih memiliki kesan kekinian. Misalkan saja nama Muhamad Renata Sidiq yang di panggil dengan nama Rere, purta dari pasangan Madsisiq dengan Reni Nurmala. Unsur agama mereka mereka menggunakan nama Muhamad sebagai salah satu identitas keislaman. Unsur tradisi mengambil dari unsur nama orang tua yang tertera pada kata Sidiq mengacu pada nama bapak dan Ren yang mengacu pada nama ibu.
Pemberian nama secara ideal ini, tidak dijadikan aturan yang baku. Realitasnya di masyarakat sekarang, setiap orang tua bisa dengan bebas memberikan nama pada anak sesuai yang mereka harapkan. Ketidak-terikatan pada aturan yang baku ini, menjadikan nama yang di sandang oleh anak dalam masyarakat Balaraja lebih berpariatif. Penambahan nama orang tua kepada anaknya juga dapat di temui misalkan saja pada keluarga H. Bahtiar dan Hj. Nina yang menyimpan nama Bahtiar di belakang nama anaknya menjadi Ikhwan Bahtiar dan Irfan Bahtiar.

sekitar nama

Teori yang memungkinkan mengkaji nama
Untuk mengetahui pemahaman lebih mendalam akan pemberian nama. Penggunaan teori tanda yang dikemukakan oleh C. S Pierce (1839-1914) dengan menempatkan tanda dan acuannya (referen) di luar pengguna tanda, ke dalam unsur-unsur realitas ekstrim, dianggap mampu membawa si peneliti untuk memahami serta mendalami lebih jauh ke dalam permasalahan yang sudah dipaparkan sebelumnya. Hal ini tentunya dengan asumsi bahwa kenyataan yang sebenarnya berada di balik “kenyataan” itu sendiri, yang tidak dapat dilihat oleh indera manusia tapi dapat di lihat sebagai perwujudannya (Christomy, 2004:117).
Dalam hal ini Pierce (1839-1914) membagi sebuah tanda kedalam tiga hal penting yang saling bertalian yakni Tanda (sign), Acuan (referen) dan Interpreten. Hal itu kemudian sering disebut dengan Trikotomi dengan kriteria Trikotomi pertama hubungannya dengan refresentamen.

Sebuah tanda dapat berkembang menjadi tanda lainnya. Dengan demikian semiotic pragmatic menjadi cukup penting dalam mengkaji proses signifikasi dalam kehidupan keseharian. Bagi Pierce semiosis dapat menggunakan tanda apa saja (linguistic, visual, ruang, prilaku) sepanjang memenuhi syarat menjadi tanda. Lebih jauh penjelasannya tentang tanda yang memiliki tiga dimensi yang saling terkait Representamen (R) sesuatu yang dapat di peresepsi (perceptible), Objek (O) sesuatu yang mengacu kepada hal lain ( referencial ) dan Interpreten sebagai sesuatu yang dapat diinterpretasi (interpretable) (Christomy, 2004:117).
Mircea Eliade (1965) mulai menjelaskan agama dengan membedakan antara kehidupan sakral dan kehidupan profan. Yang sakral sebagai aktivitas kehidupan yang disengaja, yang supranatural, mengesankan, yang substansial dan penting; yang teratur, sempurna, tempat bersama leluhur, para pahlawan dan para dewa. Sebaliknya yang profan adalah yang biasa-biasa saja dalam kehidupan sehari-hari, yang berubah dan sering kacau, membosankan dan urusan “kecil” (Pals, 2001:274-281) Nama memiliki kaitan yang erat dengan religi, hal itu sendiri bisa di lihat dengan adanya nama-nama yang tidak boleh dipergunakan untuk di sandang. Di sini kita bisa melihat prilaku serta sikaf religius merupakan sebuah ekspresi dari pemberian nama.
Jika dilihat dari hubungan keteraturan antara manusia dengan alam, lebih khusus lagi dalam hal pertimbangan baik buruk dalam memberikan nama pada anak, serta adanya istilah keberatan nama, maka kosmologi memiliki hubungan yang erat dengan manusia (dalam hal pemberian nama). Anton Bakker mengungkapkan, manusia secara objektif tidak hanya merupakan bagian dari dunia saja, tetapi manusia mengetahui dirinya dan korelasinya dengan yang lain yang di hayati dalam dunia. Ini berarti bahwa refleksi manusia atas dirinya sendiri secara kongkrit dan menyeluruh merupakan refleksi pula atas dunia. Jadi dunia tidak akan di pakai tanpa manusia, demikian juga sebaliknya, manusia dan dunia dapat saling mengimplikasi, saling mengandung (Minsarwati, 2002:43).
Lanjutnya Bakker menjelaskan pemahaman antara manusia dan dunia, dalam antropologi ini dikatakan sebagai kosmologi yang bersifat metafisik. Hal ini sebenarnya merupakan kelanjutan dan perluasan dari Antropologi, Karena setiap setruktur Metafisik dalam substansi-substansi duniawi pertama-tama direalisasikan oleh manusia dengan cara paling jelas dan sadar sejauh substansi lainnya (dalam rangka dunia) merupakan bayangan dalam pemikiran manusia yang berkurang. Namun di sisi lain kosmologi juga berbeda, sebab dalam kosmologi secara implisit terkandung kesimpulan-kesimpulan tentang substansi-substansi dunia lainnya, tetapi dalam kosmologi substansi-substansi dunia lain itu termasuk objek penelitian secara langsung (Minsarwati, 2002:43).
Alam sebagai budaya diungkapkan oleh Laksono dianggap sebagai kumpulan gagasan yang menunjukan proses penyelidikan secara terus-menerus bagi landasan tindakan pengetahuan. Alam ini adalah hasil upaya manusia untuk menghubungkan barbagai makna dalam pengalaman, dengan cara meneguhkan pengalaman-pengalaman yang bernilai serta dengan melakukan penyelidikan dan pengujian untuk menentukan apa yang terbukti dan akan terus memberikan nilai (Laksono dalam Minsarwati, 2002:45). Sebagai wujud lebih jauh baik buruknya sebuah nama secara tidak langsung sudah menggunakan konsep ruang dan waktu dalam hitungan primbon yang berlaku dalam setiap masyarakat. Tuntutan-tuntutan kesesuaian merupakan bentuk keterkaitan secara langsung antara nama dengan kepercayaan serta kosmologi, merupakan sebagai sebuah simbol yang digunakan oleh masyarakat.

sekitar nama

Tentang nama awalnya
Pada setiap epos sejarah dunia dimanapun, kita hanya akan mengenal dan menemukan nama-nama orang besar yang akan menjadi juru selamat. Seperti pelita tanpa bahan bakar yang tidak akan dapat menyala. sejarah dunia pada saat ini hanyalah sejarah ”orang-orang besar” (Carlye, 1963:17). Napoleon, Karl Marx, Enstein, Julius Caesar, Hitler, Plato, Herodotus, Descartes, Lenin hanyalah sederetan nama-nama yang sampai saat ini masih bisa kita dengar. Pada peninggalan peradaban terdahulu nama-nama orang besar yang memiliki keahlian dan kekuasaan masih kita kenal hingga saat ini. Tembok Cina yang membentang di daratan Cina kita hanya akan mengenal Dinasti Ming, Candi Borobudur yang berdiri kokoh di Pulau Jawa atau bahkan Candi Prambanan, ke dua bangunan masih berdiri kokoh sampai saat ini, kita hanya akan tahu Wangsa Syalendra dan Wangsa Sanjaya sebagai golongan elit penguasa yang mendirikan bangunan tersebut. Sementara kita tidak akan mengenal nama-nama para pekerja yang sudah bersusah payah membuat bangunan megah tersebut.
Keberagaman budaya yang tersebar di Indonesia mulai dari Sabang sampai Merauke secara tidak langsung menjadikan Bangsa Indonesia sebagai sebuah Bangsa yang memiliki kekayaan yang tentunya tidak dimiliki oleh bangsa lain. Sebagai sebuah wilayah kepulauan yang terbagi dalam wilayah Propinsi, memiliki hamparan perairan laut yang luas menjadikan karakter serta tradisi masyarakat yang mendiami setiap pulau yang ada di Nusantara berbeda. Dalam perkembangan kebudayaan yang berbeda-beda ini kemudian dimaknai sebagai sebuah masyarakat yang multi-etnik.
Setiap daerah memiliki tradisi dan memegang nilai nilai kehidupan dalam yang berbeda dengan masyarakat di daerah lain. Tradisi tersebut tentunya berlaku juga dalam hal pemberian nama pada anak. Frans Sartono (kompas : 23 april 2006) menyebutkan dalam perkembangannya, sebuah nama yang di sandang setiap orang memiliki penyesuaian seiring dengan perkembangan kebudayaan maupun sosial masyarakat dan selalu mengikuti jamannya. Pada jaman Çiva-Budha yang dijadikan sebagai sebuah agama resmi kerajaan. penggunaan nama di beberapa kelompok elit sudah banyak yang mengadaptasi dari nama Dewa atau Dewi yang ada di ajaran Çiva-Budha, selain itu juga penggunaan nama atau gelar sudah bisa di lihat dan hal ini kemudian yang menjadi sebuah pembeda dan petanda dari tatanan kelas sosial yang ada, selain itu pengambilan nama-nama binatangpun sudah banyak di sandang seperti misalnya Gajah Mada, Hayam Wuruk, Kuda Panoleh. Pemaknaan serta harapan orang yang memberikan nama tentunya sudah ada pada masa tersebut. banyaknya pengunaan nama-nama yang mengambil nama dari lingkungan alam dimana ia tinggal harapannya lebih mengarah pada kekuatan serta jiwa yang kuat seperti binantang tersebut, mengingat pada masa tersebut daerah agraris serta besarnya alam masih cukup luas di wilayah Nusantara ini.
Masuknya agama langitan (Islam, Kristen, Protestan) ke Indonesia serta makin meluasnya ajaran tersebut di tanah Jawa khususnya yang banyak mengubah pandangan masyarakat akan nilai budaya yang dianutnya, juga mengubah persepsi tentang pemberian nama-nama yang lebih mengarah pada nama yang baik dalam agama seperti Islam, Kristen, sangat marak di sandang oleh setiap orang. Di sini nama menjadi pasaran karena banyaknya yang mengunakan / menyandang nama yang sama dalam setiap kelompok masyarakat. Penggunaan nama Abdul yang di sandang lebih dari 3 orang dalam sebuah wilayah yang sama, agar tidak keliru saat memanggilnya, kita pun harus memberi tambahan nama yang sesuai dengan keadaan fisik dirinya, menjadi Abdul Ompong yang disesuaikan dengan keadaan pisiknya yang giginya ompong, Abdul Gendut yang memang secara pisik tubuhnya gemuk atau Abdul pendek karena memang tubuhnya pendek (Ayatrohaedi, 1996:88).
Memasuki era moderen di Indonesia dengan besarnya pengaruh media terhadap masyarakat, secara tidak langsung memberikan andil dalam pergeseran tentang pemberian nama. Hal-hal yang berbau tradisi serta penggunaan primbon sebagai acuan dalam memberikan nama sudah tidak terlalu diperhatikan. Larsano (Kompas : 23 april 2006) juga mengungkapkan ”bagi sebagian masyarakat modern pemberian nama pada anak lebih berorientasi pada pengucapan serta figur yang diharapkan oleh orang tua. Walupun masyarakat moderen tidak terlalu memegang kaidah pemberian nama yang digunakan oleh masyarakat terdahulunya akan tetapi makna, nilai serta harapan masih mengiringi sebuah nama yang sudah diberikan”.
Tradisi pemberian nama pada anak, seperti halnya dalam tradisi pemberian nama anak di masyarakat Aceh seperti yang diungkapkan oleh Chalidjah Hasan dalam buku segi-segi sosial masyarakat Aceh menjelaskan, pemberian nama anak di daerah Aceh, secara tidak resmi diberikan oleh dukun bayi (tideun) sewaktu memotong tali pusar. Nama yang diberikan biasanya tidak jauh dari keturunan atau kerabat Nabi Muhammad. Nama yang sudah diberikan oleh tideun bisa diganti jika orang tua merasa nama yang sudah diberikan tersebut tidak cocok. Biasanya penggantian nama yang tidak cocok dilakukan bertepatan dengan upacara beuboh nan (upacara hari ke tujuh setelah bayi lahir). Biasanya dalam memberikan nama baru tersebut, orang tua meminta nasihat dari tengku, agar nama yang akan di sandang anaknya mendapatkan berkah dari sang tengku (Hasan, 1977:128-129).
Bagi masyarakat Kaliwungu di kab. Kendal, pemberian nama pada anak berbarengan dengan puput pusar dan tidak selalu dalam bentuk mengumpulkan warga untuk melakukan doa bersama. Cukup membagi-bagikan satu besek nasi atau nasi keluban (nasi dalam porsi kecil yang berisikan ikan asin sereh petek, irisan telur, tahu, tempe dan sambal goreng) dibagikan kepada para tetangga yang tinggal disekitaran rumah. Di dalam besek tersebut biasanya terdapat kartu nama sang bayi yang sudah diberikan nama dan banyak juga yang tidak menyisipkan nama tapi dengan memberitahukan namanya secara langsung kepada para tetangga (Tohir, 1999:184).
Kabupaten Tangerang sebagai salah satu wilayah dari Propinsi Banten, merupakan wilayah dengan kepadatan penduduk tahun 2007 mencapai 3.345.523 jiwa, terbagi ke dalam 26 Kecamatan dan 320 Desa / Kelurahan (BPS Kab. Tangerang 2007). Masyarakat yang mendiami wilayah Kecamatan Balaraja, yang sebagian wilayahnya dijadikan sebagai wilayah pertanian, penghijauan serta industri, dalam beberapa kelompok kecil masyarakatnya masih memegang dan menjalankan ajaran leluhur (nenek moyang) sebagai sebuah tradisi masyarakatnya.
Sebagian besar ajaran tersebut sudah mengalami pergeseran karena besarnya pengaruh ajaran Islam yang dianut sebagian mayoritas masyarakat. Walaupun demikian secara tidak disadari, ajaran-ajaran leluhurnya masih digunakan dalam keseharian. Misalnya dapat kita lihat dari prilaku masyarakat saat seorang anak pergi merantau atau pindah rumah. Hal yang dilakukan biasanya orang yang pindah rumah tersebut membawa sedikit tanah dari rumah sebelumnya, kemudian tanah yang di bawa tersebut ditaburkan di rumah yang baru.
Bagi masyarakat di Kecamatan Balaraja, ajaran leluhur tersebut sering dijadikan rujukan dalam proses pemberian nama pada seorang anak. Selain itu juga ajaran leluhur ini bisa dilihat saat seorang bayi yang di beri nama kemudian mengalami sakit-sakitan atau dalam pertumbuhannya terhambat, dianggap tidak cocok dengan nama yang disandang. Ada kebiasaan masyarakat tradisi bila hal tersebut terjadi biasanya si bayi akan di buang sementara ke tempat sampah, kemudian di pungut kembali oleh sang dukun. Makan nama anak tersebut kemudian di ganti menjadi pulung, runtah atau cudih.
Reni Sukma menjelaskan seorang bayi yang selalu sakit-sakitan setelah diberikan nama oleh orang tuanya, dipercayai oleh masyarakat si anak yang sakit-sakitan tersebut dianggap tidak mampu menyandang nama yang diberikan oleh orang tuanya (namanya terlalu berat/keberatan nama) sehingga nama yang sudah diberikan tersebut harus di ganti dengan nama yang lain agar tidak sakit-sakitan (Sukma, 2006:3). Anggapan ini di perkuat oleh masyarakat dengan adanya kepercayaan akan wilayah ruang (kosmologi) dan keberadaan primbon di masyarakat sebagai sebuah pegangan untuk melihat baik-buruknya sebuah nama yang di sandang.
Bagi masyarakat di Kecamatan Balaraja, ada yang mengangap nama sebagai pedoman hidup. Unsur arti yang terkandung dalam setiap nama, akan membawa sifat-sifat seseorang ke arah (arti dari nama yang disandang). Unsur dalam nama yang berbentuk sifat tersebut, secara sadar ataupun tidak sadar akan mempengaruhi perjalanan hidup seseorang dalam kehidupan sehari-hari.
Mengenai hal anak sakit-sakitan dianggap karena keberatan nama, Seperti yang dikemukakan Mircea Eliade menjelaskan bahwa setiap fenomena yang ada di bumi baik yang sifatnya abstrak maupun yang kongkrit sesuai dengan istilah langit. Istilah transenden yang tidak dapat dilihat dengan ide dalam artian platonik: setiap hal, setiap pengertian, menampilkan dirinya sendiri degan aspek ganda yang berupa menok (langit yang bisa dilihat) dan getok (langit yang tak bisa dilihat), serta bumi kita berkesesuaian dengan bumi yang ada di langit. Setiap kebijakan yang dilakukan dibumi memiliki padanannya di langit yang merupakan realitas sejati (Eliade, 2002:7). Pendeknya, penciptaan itu hanya bersifat duplikat.
Seorang bayi yang belum lama dilahirkan, dianggap oleh masyarakat sebagai manusia yang masih suci, sebagai mana yang diungkapkan oleh Bapak Sa’id (salah satu Tokoh Masyarakat di Balaraja) oleh karenanya, bila anak yang sakit-sakitan atau terhambat pertumbuhannya (setelah diberikan nama) masyarakat menganggapnya si bayi merasakan ketidak-cocokan dengan nama yang sudah diberikan, sehingga si bayi memberikan reaksi dengan sakit-sakitan atau terhambat dalam pertumbuhan tubuhnya. Masyarakat mengenal sebuah nama sebagai sebuah do’a yang diberikan orang tua, sebgai identitas diri, sebagai sebuah status sosial dan sebagai sebuah warisan yang diberikan oleh orang tua kepada anaknya.
Untuk melihat baik-buruknya nama, biasanya masyarakat menggunakan ilmu Palak atau dengan sebuah Primbon yang digunakan oleh masyarakat. Hal ini biasanya digunakan Sebagai pertimbangan akhir setelah si bayi yang diberikan nama mengalami sakit-sakitan atau terhambat dalam pertumbuhannya. Jakob Soemardja menjelaskan, pada masyarakat tradisi, primbon dianggap sebagai sebuah bagian yang tidak terpisahkan dari keseluruhan tata ruang kosmos yang berhubungan dengan manusia. Oleh karenanya waktu yang selalu diidentikan dengan tata tertib kosmos yang "mewaktu", hal ini tidak akan dapat di pahami oleh manusia tanpa melihat ruang. Sebagai sebuah catatan-catatan kosmik tentang "waktu" makna kata "neptu" merupakan kata kunci dari primbon yang ada di Jawa. "Kapan" itu akan menentukan atau memaknai "ruang", kapan relativ dan kapan subjektif setiap manusia. Sehingga wajar dalam pemberian nama, primbon dijadikan acuan untuk melihat baik-buruknya nama yang diberikan (Soemardja, 2002:11).
Dalam Hal yang lain, ketika seseorang yang mengganti namanya dari yang nama pasaran atau sangat tidak asing di masyarakat kemudian mengganti namanya dengan nama yang dianggap berat oleh masyarakat. Seperti yang terjadi pada Nia (nama pendek) yang mengganti namanya menjadi Tri Buana Tungga Dewi. Pergantian nama ini karena Nia sendiri pada saat remajanya sering mangalami sakit-sakitan dan sering mengalami trance, bagi orang tua yang mengerti aturan pemberian nama hal ini tentunya dianggap berat mengingat selain arti juga nama tersebut pernah digunakan oleh seorang Raja di Jawa. Hanya saja yang terjadi kemudian setelah Nia mengganti nama dengan Tri Buana Tungga Dewi ia tidak mengalami sakit-sakitan lagi bahkan sekarang beliau bisa menyembuhkan orang yang sakit dan dekat dengan dunia mistik (paranormal) pada saat penggantian nama tersebut ia mengungkapkan selain karena dirinya mampu untuk mengenakan nama tersebut juga karena bisikan untuk menganti namanya pada saat mengalami sakit-sakitan.
Keberatan nama biasanya dilihat dari arti yang dikandung dalam nama itu sendiri yang disesuaikan dengan keadaan sebuah keluarga yang di perkuat oleh kepercayaan masyarakat tradisi akan kesesuaian dalam hal pengartian sebuah nama dengan kosmologi yang digunakan. Pengunaan nama Segoro, Gusti Allah, Dewi Sangga Langit atau yang lainnya, bagi orang tua yang masih memegang ajaran tradisi biasanya tidak memperbolehkan mengenakan atau menyandang nama tersebut karena nama tersebut dianggap berat. Bagi yang memaksakan dengan nama Gusti Allah misalnya walaupun ternyata si bayi yang di beri nama tersebut tidak sakit-sakitan akan tetapi masyarakat akan menertawakan orang yang memberikan nama pada anak tersebut, karena dianggap tidak etis oleh masyarakat (Ayatrohaedi, 1996:89).
Sudiro menjelaskan, Pemberian nama tidak semata-mata hanya sebatas sebutan saja yang persis dalam artian bahasa sansekerta yakni nama yang diartikan sebagai sebutan (Sudiro, 2006:viii). Pemberian nama yang diberikan oleh orang tua kepada anaknya selalu memiliki tujuan dan maksud tertentu tujuan tersebut diantaranya sebagai sebuah do’a yang diberikan oleh orang tua dan sebagai sebuah harapan dari orang tua. Sementara bagi orang yang menyandang nama tersebut sebuah nama yang sudah diberikan oleh orang tua tentunya akan menjadi sebuah kebanggan dalam menyandangnya (Sukma, 2006:1).
Ida Sundari Husain mengatakan nama adalah tanda (Husain, 2004:266). Wittgenstain menjelaskan Nama adalah sebuah simbol sederhana, sebuah nama akan memiliki arti jika hal tersebut berhubungan dengan proporsisi untuk menjelaskan objek sebenarnya (Kaelan, 2004:51). Sebagai sebuah tanda, nama yang disandang oleh setiap orang tidaklah “berdiri sendiri”. Kondisi sosial budaya dalam masyarakat dengan memberlakukan tradisi di lingkungan sosial budaya masyarakatnya, memungkinkan keberadaan nama memiliki keterkaitan yang erat baik dengan kepercayaan, sosial budaya, maupun dengan kosmologi masyarakat Sebagai sebuah tanda yang berdiri sendiri maka ia akan memiliki kaitan "yang lebih" dan punya kecenderungan akan mengorbankan "hal lain" yang berada di balik tanda itu sendiri. Sebagai sebuah tanda, istilah ”nama” akan sangat terbuka untuk mendapatkan sebuah makna. Hal ini juga akan sangat memungkinkan, sebuah tanda mendapat interpretasi yang beragam. Sehingga sebuah kata memiliki identitas yang tidak baku (Cavallaro, 2001:7).
Mengingat waktu kelahiran sebagai sebuah takdir yang sudah ditentukan oleh waktu (Soemarjo, 2002:88), sementara nama menjelaskan perjalanan kehidupan seseorang. Karena setiap orang selalu menggunakan nama (bahkan lebih mengunakan satu nama) selain sebagai identitas diri juga sebagai sebuah penanda akan keberadaan dirinya di masyarakat, maka sudah sepatutnyalah pembahasan akan sebuah nama dapat dikaji baik lewat makna untuk memaknai kembali tentang kebradaan nama diri yang di sandang setiap orang. Sebagai seorang individu yang ingin mengenal lebih jauh akan tradisinya maka sudah barang tentu keadaan seperti ini menjadi hal yang sangat menarik untuk diketahui lebih jauh lagi, baik dalam keberadaannya di masyarakat serta pemaknaan dari nama yang di sandang oleh setiap orang.
Besarnya pengaruh moderenisasi yang menghantam masyarakat Tangerang khususnya, hal ini menjadi mungkin sebagian besar masyarakat akan tercabut dari tradisinya bahkan akan terasing dari ajaran-ajaran leluhurnya. Kebiasaan masyarakat yang tidak terbiasa menulis mengenai tradisi masyarakat yang tinggal di Kecamatan Balaraja tidak mungkin kehidupan masyarakat Tangerang (Balaraja khususnya) yang sampai saat ini sudah banyak yang acuh akan tradisinya tidak akan bertahan, sehingga ajaran ataupun kepercayaan akan menghilang begitu saja tanpa bekas.