Senin, 28 April 2008

makanan

Ekspansi nasi
Makan…makan…makan… yah seperi itulah terkadang orang menyebutnya dalam sebuah tayangan tentang kuliner di sebuah stasiun tv. Kemudian istilah kuliner menjadi tidak asing di telinga masyarakat setelah mr Bondan dengan acara wisata kulinernya menjadi salah satu tayangan yang cukup memberikan kesan pada para penontonnya. Hal ini berdampak pada stasiun tv yang lainnya yang kemudian membuat acara dengan tema yang sama yakni kuliner.
Bagi saya jelas menarik bila kita berbicara mengenai persoalan makanan ini. Karena bukan cuman mentok pada persoalan perut ato persoalan aroma yang di hasilkan dari makanan sehingga memancing selera makan kita. Tentunya lebih dari itu, berbicara soal kuliner kita juga akan berbicara soal ekonomi, kesehatan, psikologi social, bahkan kita akan berbicara pada persoalan politik identitas dan exsistensi sebuah budaya dan pola kehidupan masyarakat saat mereka mencoba mencicipi makanan tersebut.
Dengan beragamnya sudut pandang sudah barang tentu saya sendiri tidak akan mampu untuk menjelaskan persoalan kuliner tersebut, serta keterhubungan diantara sub sub yang sudah saya paparkan sebelumnya. Dan disini saya hanya akan bercerita mengenai hal hal kecil saja yang pernah saya lihat, saya amati dan coba saya pikirkan hingga ahirnya meresahkan pikiran saya dan untuk hal iu juga saya coba menuliskan. Karena agaimanapun juga keresahan itu harus di tuliskan terlepas ada yang berminat membacanya atau memikirkannya juga.
Satu hal keresahan akan persoalan makanan tersebut yakni saat banyaknya para penjual makanan di tengan padatnya kota yang ada di Denpasar ini. Banyaknya kedai kedai makan tersebut anehnya justru di kembangkan oleh orang orang yang berada di luar masyarakat denpasar khususnya. Dan perkemangannya jelas sangat pesat, karena hampir di setiap ruas jalan raya akan dengan mudah kita temui jajakan makanan tersebut.
Sebut saja nasi campur atau pecel lele ato ayam goreng dengan bumbu pecel yang notabene makanan tersebut sangat identik dengan etnis tertentu (jawa) yang banyak beredar di Denpasar ini. Makanan yang di sajikan untuk makan malam tersebut yang bukanya hanya dari sore sampe malam saja sangat mendapatkan sambutan yang cukup lumayan besar, mungkin karena harganya yang murah hanya dengan harga dibawah sepuluh ribu kita sudah mendapatkan satu porsi makanan yang isinya lauk, sayuran dan segelas minnuman hangat atau dingin, pastinya cukuplah untuk membuat perut kita kenyang.
Kemudian yang mengganjal di pikiran saya awalnya saat diterimanya makanan tersebut di Denpasar ini kemudian mereka bisa berkembang dan bisa eksis. Dan jawabannya sangat mudah yang jelas yang membuat makanan tersebut tetap eksis sudah barang tentu ada pendukung dari makanan tersebut yakni tidak sedikit orang jawa yang merantau ke Denpasar. Tapi apakah hanya sebatas itu? Bukankah para konsumen mereka banyak juga orang Denpasar yang pastinya menikmati sajian dari makanan tersebut? Lantas bagaimana pertentangan makan tersebut terjadi sehingga sebagai sebuah solusinya memberikan pilihan yang sangat terbuka bagi “masyarakatnya”? dan untuk menjawab persoalan tersebut tentunya tidak gampang.
Bagi saya untuk menjelaskan pertanyaan yang demikian sama juga saat kita mencoba menjelaskan produk-produk makanan dengan label luar seperti Mc D, KFC atau Hoka-Hoka Bento dan sebagainya yang sangat ngetrend di masyarakat modern sekarang ini hanya saja yang membedakannya mungkin saja pangsa pasarnya, kemudian tempat penyajiannya dan menejemen pemasarannya saja berbeda yang dari kesemuanya jelas tidak susah untuk kita dapatkan. Tapi,,,ah pastinya terlalu rumit untuk memaparkan masalah semuanya.
Bagaimanapun juga kesemua produk makan yang saya paparkan diatas bukan produk yang lahir dari kreatifitas masyarakat setempat. ( aneh…belom selesai ngejelasin persoalan pertama, eh persoalan kedua dah nongol. Emang gak focus) jdi persoalan kedua yakni apakah produk makanan yang sudah di paparkan diatas akan mempengaruhi pola makan dan pola hidup masyarakat setempat. Karena bagaimanapun juga, setiap makan yang disajikan akan mempengaruhi pola prilaku seseorang, hal ini dapat kita lihat mulai dari cara menyajikan makanan, cara menyantap makan tersebut akan membawa seseorang pada pola tertentu. Yakni pola makan dan pola prilaku seseorang yang akan cenderung akan berprilaku sama dengan masyarakat dimana awal makan tersebut berkembang.
Hal yang seperti ini sudah barang tentu tidak akan pernah dirasakan secara sadar oleh para konsumennya. Karena hal tersebut mungkin saja terhalang oleh nikmatnya aroma serta nikmatnya rasa dari makanan yang kita santap, dan apakah hal tersebut bisa kita tanggapi secara wajar.
trus apa lagi yah....akhh...ntar ntaran aja deh ngelanjutinnya.... ah klo nggak gimana klo awab sendiri aja akan pertanyaannya...gak keberatankan.Ekspansi nasi
Makan…makan…makan… yah seperi itulah terkadang orang menyebutnya dalam sebuah tayangan tentang kuliner di sebuah stasiun tv. Kemudian istilah kuliner menjadi tidak asing di telinga masyarakat setelah mr Bondan dengan acara wisata kulinernya menjadi salah satu tayangan yang cukup memberikan kesan pada para penontonnya. Hal ini berdampak pada stasiun tv yang lainnya yang kemudian membuat acara dengan tema yang sama yakni kuliner.
Bagi saya jelas menarik bila kita berbicara mengenai persoalan makanan ini. Karena bukan cuman mentok pada persoalan perut ato persoalan aroma yang di hasilkan dari makanan sehingga memancing selera makan kita. Tentunya lebih dari itu, berbicara soal kuliner kita juga akan berbicara soal ekonomi, kesehatan, psikologi social, bahkan kita akan berbicara pada persoalan politik identitas dan exsistensi sebuah budaya dan pola kehidupan masyarakat saat mereka mencoba mencicipi makanan tersebut.
Dengan beragamnya sudut pandang sudah barang tentu saya sendiri tidak akan mampu untuk menjelaskan persoalan kuliner tersebut, serta keterhubungan diantara sub sub yang sudah saya paparkan sebelumnya. Dan disini saya hanya akan bercerita mengenai hal hal kecil saja yang pernah saya lihat, saya amati dan coba saya pikirkan hingga ahirnya meresahkan pikiran saya dan untuk hal iu juga saya coba menuliskan. Karena agaimanapun juga keresahan itu harus di tuliskan terlepas ada yang berminat membacanya atau memikirkannya juga.
Satu hal keresahan akan persoalan makanan tersebut yakni saat banyaknya para penjual makanan di tengan padatnya kota yang ada di Denpasar ini. Banyaknya kedai kedai makan tersebut anehnya justru di kembangkan oleh orang orang yang berada di luar masyarakat denpasar khususnya. Dan perkemangannya jelas sangat pesat, karena hampir di setiap ruas jalan raya akan dengan mudah kita temui jajakan makanan tersebut.
Sebut saja nasi campur atau pecel lele ato ayam goreng dengan bumbu pecel yang notabene makanan tersebut sangat identik dengan etnis tertentu (jawa) yang banyak beredar di Denpasar ini. Makanan yang di sajikan untuk makan malam tersebut yang bukanya hanya dari sore sampe malam saja sangat mendapatkan sambutan yang cukup lumayan besar, mungkin karena harganya yang murah hanya dengan harga dibawah sepuluh ribu kita sudah mendapatkan satu porsi makanan yang isinya lauk, sayuran dan segelas minnuman hangat atau dingin, pastinya cukuplah untuk membuat perut kita kenyang.
Kemudian yang mengganjal di pikiran saya awalnya saat diterimanya makanan tersebut di Denpasar ini kemudian mereka bisa berkembang dan bisa eksis. Dan jawabannya sangat mudah yang jelas yang membuat makanan tersebut tetap eksis sudah barang tentu ada pendukung dari makanan tersebut yakni tidak sedikit orang jawa yang merantau ke Denpasar. Tapi apakah hanya sebatas itu? Bukankah para konsumen mereka banyak juga orang Denpasar yang pastinya menikmati sajian dari makanan tersebut? Lantas bagaimana pertentangan makan tersebut terjadi sehingga sebagai sebuah solusinya memberikan pilihan yang sangat terbuka bagi “masyarakatnya”? dan untuk menjawab persoalan tersebut tentunya tidak gampang.
Bagi saya untuk menjelaskan pertanyaan yang demikian sama juga saat kita mencoba menjelaskan produk-produk makanan dengan label luar seperti Mc D, KFC atau Hoka-Hoka Bento dan sebagainya yang sangat ngetrend di masyarakat modern sekarang ini hanya saja yang membedakannya mungkin saja pangsa pasarnya, kemudian tempat penyajiannya dan menejemen pemasarannya saja berbeda yang dari kesemuanya jelas tidak susah untuk kita dapatkan. Tapi,,,ah pastinya terlalu rumit untuk memaparkan masalah semuanya.
Bagaimanapun juga kesemua produk makan yang saya paparkan diatas bukan produk yang lahir dari kreatifitas masyarakat setempat. ( aneh…belom selesai ngejelasin persoalan pertama, eh persoalan kedua dah nongol. Emang gak focus) jdi persoalan kedua yakni apakah produk makanan yang sudah di paparkan diatas akan mempengaruhi pola makan dan pola hidup masyarakat setempat. Karena bagaimanapun juga, setiap makan yang disajikan akan mempengaruhi pola prilaku seseorang, hal ini dapat kita lihat mulai dari cara menyajikan makanan, cara menyantap makan tersebut akan membawa seseorang pada pola tertentu. Yakni pola makan dan pola prilaku seseorang yang akan cenderung akan berprilaku sama dengan masyarakat dimana awal makan tersebut berkembang.
Hal yang seperti ini sudah barang tentu tidak akan pernah dirasakan secara sadar oleh para konsumennya. Karena hal tersebut mungkin saja terhalang oleh nikmatnya aroma serta nikmatnya rasa dari makanan yang kita santap, dan apakah hal tersebut bisa kita tanggapi secara wajar.

ah tapi males ngelanjutin tulisana..bingung... emm tapi gimana klo untuk pertanyaana di jawab sendiri aja yah..he he he...

asal kata

Aku seperti tak menemukan kata, hingga mulutku gagap seperti tak bisa bicara. Kembali mencoba berpikir sekedar tuk mengingat apa yang sudah aku baca tentang perjalanan sebuah waktu. Dalam persinggahan ini banyak hal yang tidak lagi bisa aku mengeti. Keindahan akan harapan sepertinya terus berlari meninggalkan sisa sisa mimpi yang tak juga di pahami. Terkadang ia kembali menikam hari hari yang terus melekat dalam pikiran, kadang ia sesaat hinggap sekedar tuk mengingat akan hal yang belum pernah aku rasa
Awalnya seperti kata untuk menjelmakan sebuah keinginan, setelah itu aku sendiri tak lagi tahu kemana perginya sejatinya diri, hal ini yang tak aku pahami. Dari cerita orang orang yang aku kumpulkan dan aku pungut di tong tong sampah katanya ia pergi setelah semuanya sudah menjadi, tapi yang lain berkata ia meleburkan dirinya kedalam ciptaannya, sementara orang yang lain lagi berkata ia hanya berdiam diri di sebuah tempat tersembunyi dan bahkan kita sendiri tak akan pernah mengenali tempat itu. Ahh…entahlah begitu banyak tempat yang melekat dalam ingatan. Setiap tempat hanya sisakan sesak dan begitu banyak tempat yang sisakan pengap bahkan udara yang coba hinggap harus berdesakan lalu bersembunyi di balik selah selah aliran darah.
Pastinya kita tidak akan pernah tahu mana yang akan datang lebih dulu, sebuah hari yang sudah kita harapkan nanti atau sebuah kehidupan di dunia yang lain yang menyapa kita lebih dulu. Terkadang keraguan akan membawa kita pada sebuah pilihan, dimana pilihan itu akan membawa kita ke jalan yang lain dan ke kehidupan lain. Dan terkadang keraguan juga yang selalu membuat kita merasa hidup yang mengharuskan kita ntuk bisa membaca.
Bila hidup ini sudah digariskan dan sudah direncnakan, lantas kenapa aku masih mau menjalankan. Bukankah aku sering tersesat terbawa pergi hingga akhirnya aku harus kembali sampai sampai aku harus berlari mencari pegangan yang sudah kupercayai. Bukankah hidup ini jauh membosankan dan banyak tidak membahagiakan. Mungkin ada hal yang tidak aku mengerti dan tidak aku pahami kenapa aku musti harus kembali kepada kehidupan ini.. mungkin hal itu yang harus aku cari dan mungkin aku akan mencurinya jika aku tahu orang yang memahami jawaban yang demikian.
Karma ini terasa dekat untuk dirasakan. Sungguh nggak adillah bilaada kehidupan sebelumnya tapi kita tidak pernah tahu dan tidak pernah bisa mengingat sudah sampai dimana kehidupan yang lalu sudah kita jalani. Sungguh membingungkan semoga hal ini tidak menyesatkan. Tentunya banyk hal-hal yang sudah pasti yang tak akan pernah bias kita ingkari, seperti jelmaan hari yang tak pernah bias kita kurangi atau di tambahkan. Entah siapa awalnya yang menyepakati hari dengan ikatan waktu hanya duapuluh empat jam didalamnya. Sedetikpun tambahan yang kita harapkan tak akan pernah bias di ujudkan.
Tak lebih dan tak kurangbaik kebencian ataupun kerinduan dan segala apa yang sudah di rasakan sudah menjadi bagian yang ada di dalamnya. Pagi siang ataupun malam, hanya sebatas penggalan waktu yang terbagi dalam beberapa suasana. Sebenarnya apa yang sudah aku katakana dan sudah aku bicarakan semua sudah pernah di lakukan, semoga saja kita masih bisa sedikit memaafkan dari sebuah kejadian yang sudah dialami.