Kamis, 08 Oktober 2009

lainnya

kekasihku
Lantas siapa yang akan membuat diriku bangga untuk menjadi seorang laki-laki. Menjadi seperti seorang kesatria yang bersahaja datang dari medan laga. Bukan aku tak mencari dengan siapa hidup ini akan di beri arti, juga bukannya aku berdiam diri. Hanya saja kau terus berlari saat aku sudah meluangkan waktu untuk mendekati dirimu. Percaya sajalah, aku takanan menaklukan dirimu karena aku tau kau bukan budakku. Aku juga tak akan memperlakukan dirimu seperti pembantu sebab aku tau karena aku yang akan selalu menjagamu. Menjaga kesempurnaan yang ada dalam dirimu saat aku bisa menuju satu waktu bersama…
Aku tau, kau tak akan teryakinkan akan kata-kata yang sudah kubacakan, aku hanya teryakini kalau kau tidak tuli. Aku tak akan meyakinkanmu sebab dirimu sendiri yang harus meyakinkannya sendiri. Sebagai sebuah konsekwensi akan rasa yakinmu berarti kau harus menjalani keyakinan itu agar bisa terbukti. Keyakina bukan sebuah awal, juga bukan sebatas kepastian. keyakinan adalah satu kesatuan proses antara mengawali dan menjalani saemata untuk memberi bukti kalau yang sudah kau awali memang benar adanya. Keyakinan itu akan terhenti jika saja kau sudah melewati bagian ruang pengantara yang menjadi bagian dari dalam dirinya. Keyakinan itu akan segera tergantikan oleh suatu kewajiban serta tanggung jawab akan apa yang sudah dijalankan.
Seperti kepingan senja yang memaksakan sebagian hati untuk terus memanja. Saat aku coba memilah untuk kusembahkan kepingan itu untukmu. Diantara serpihan itu, kadang perih sampai suaraku terdengar lirih. aku akan tetap memilah walau tanganku berdarah. Aku tak akan menyerah, selama aku belum bisa mengumpulkan kembali kepingan yang sudah terberai pecah.
Aku hanya ingin membuat diriku bangga saat menjadi seorang pria. Kebangganku semata karena kau ada bukan diantara perbatasan sebuah rasa yang begitu menggebu dalam dada. Aku hanya ingin saat aku meraih kebahagiaan dan kau ada sebagai seorang yang sudah membagikan sedikit waktu yang ada.
Sepertinya aku tak menemukan alasan saat kebahagiaan itu datang padaku dan aku masih terpaku. Aku tak menemukanmu, lantas bagaimana aku bisa menjalani semuanya jika tak ada representasi akan keberadaanmu. disisi lain kau memberikan sedikit waktu yang kau simpan dalam ruangan kalbu dan itu tentunya berada dibagian dalam hatimu.
Harusnya bukan cuman aku yang meyakinkan pada diriku akan adanya cintamu. Walau akhirnya Aku mulai tau kaupun sama, selalu berusaha untuk memberikan satu kejadian agar aku bisa teryakinkan akan ketulusan cintamu.
Kekasihku, jalan yang sudah aku coba jalani sudah aku bedakan dengan jalan yang orang lain jalani. Kekasihku, jika nanti aku sampai di pintu hatimu dengan jalan yang sudah kulalui maka dimanapun kau simpan diriku, selalama disana ada ijinmu. Kekasihku, yang aku cari semata hanya restumu untuk menjadi bagian akan ada-Nya dirimu.

Rabu, 07 Oktober 2009

lainnya

saat pagi kembali
Awalnya aku hanya ingin berbagi nasib dengan menukarkan kesunyian dalam diri masing-masing. Hanya saja semua itu tak bisa terlepaskan begitu saja, waktu yang sudah aku sediakan hanya mampu menyisihkan percikan dari sisi-sisi kesunyian. Jika saja apa yang aku sudah rasakan bisa terlepas hingga terhempas, heuh…tapi tak semudah itu untuk mengawali apa yang seharusnya aku nikmati.

Sesaat sedikit harap melekat bersama pagi, kemudian pergi disaksikan oleh mentari. Aku hanya bisa berdiam diri menjadi saksi dari apa yang sudah terjadi. Tak ada yang ditinggalkan selain sesak yang berdesakan mengisi ruangan di dalam dada. Sayangnya aku tak menemukan kata yang bisa kau percayai untuk menaha langkah yang semakin menjauh. Hati yang luluh tak jua bisa menahan peluh.

Di kamar ini, yang hanya disaksikan oleh suara suara yang pelan merayap, keinginan itu mulai tersirami.

Sayangnya saat hari perlahan berganti Belum juga aku teryakini walau perempuan yang aku nanti sudah kembali menghampiri. Entah apa yang aku alami, kini. Seperti tak merelakan untuk memberikan hati agar bisa di mengerti. Dia, orang yang melukai tak selayaknya membuat mataku terjaga, sudah tak lagi ada rasa walau dia memaksa untuk memanja.

Diantara susunan kata kata yang sudah tercipta, diantara jajaran rasa yang sudah terbuang sia sia. Ada sisa-sisa yang akhirnya membuat aku percaya akan satu rasa yang tersisa.
Andai saja mesin pembaca isi hati yang dirasa sudah tercipta, barangkali begitu banyak yang berseliweran bermacam keraguan serta segala solusi yang masih menyatu dan terpisah. Seperti berada di dunia antah berantah, tak punya arah bukan berarti tak terarah.

Satu sajak yang berisi tentang ceritamu hilang…
mungkin saja aku lupa dan sudah membuangnya…
karena memang terlalu mudah cerita itu hilang begitu saja, juga dalam ingatan. Tak lagi menyisakan cerita walau sekarang kau sudah ada…
Anehnya cermin itu selain memantulkan bayangan sendiri,
ia juga melindungi matamu yang teduh
walau akhirny perlahan matamu mulai berkaca.

Pernah aku berkata : jangan pernah mengartikan segala sesuatu seorang diri. Sebab yang sudah menjadi mimpimu selain sudah kau jalani juga sudah lama kau kenali, hanya tinggal menunggu matahari itu pergi. Maka segala sesuatunya walau samar pasti akan terlihat oleh mata.

Serahkan pada malam, satukan dirimu dalam remang. Sebab sejatinya segala sesuatu di cipta bukan pada saat matahari menjelang tapi pada saat diri sudah bisa memaknai akan adanya malam. Apakah kau tidak pernah bertanya kenapa ayat ayat yang sudah kau percaya didapatkan pada saat hari sudah malam.

Yah itulah malam, yang menjadikan siang sebagai gudang permasalahan sekaligus untuk mengisikan jawaban. Hanya malam yang bisa memastikan kapan siang akan datang. Malam yang akan memastikan dimana seharusnya kau berjalan.

lainnya

Saat sebagian diri terdiam
Jari-jariku perlahan seperti kaku, semoga saja aku masih mampu untuk berkata kata dan menuliskannya. Kekakuan ini coba ku selami, untungnya tak membuat pikiranku beku. Hal ini akhirnya bukan hanya sebatas pembenaran dari segala kelakuan. Sebab tak ada pernyataan yang bisa aku pinjam, juga belum menemukan rangkaian kata yang bisa membuat orang percaya.
Diantara hamparan kesunyian, ditengah hempasan riak-riak yang menjadi alunan pengiring samudera yang bernyanyi. Perlahan mata coba ku pejam, mulut ini kupaksakan bungkam suara suara itu perlahan terdengar diselah selah rerumputan yang mulai berlarian setelah bersembunyi di balik semak. Yah…semak yang berada di bagian dalam diri. Walau mulut dibungkam, akan tetapi terlinga ini masih jelas mendengarkan makian dan segala keresahan pikiran yang terus merangkaikan kata-katanya.
Ingatan perlahan mulai berseri, jari jemari perlahan mulai menari. Indahnya hari yang aku lalui menjadikan diri bisa kembali memaknai sebuah arti yang baru saja terjadi.
Kehidupan, kehidupan…sepertinya hanya menjadikan keluhan-keluhan dari segala kebimbangan. Hingga akhirnya akan sampai juga pada satu keputusan untuk memastikan mana yang harus dikorbankan. semua sudah diciptakan dan kita tinggal membuktikan, semua tinggal menjalani sebab keinginan sudah ada dalam diri.
Yah…langkah pertama hanya tinggal menemukan jalan yang sudah diciptakan, lalu kita mulai menjalani dan semoga mimpi-mimpi itu bisa segera kita temui…
Dan saat aku meniatkan diri untuk mulai mengawali, kau berpesan agar aku berHATI-HATI….aku hanya bisa menyela dalam diri, heuh…hati-hati, sebuah kata yang berulang, cukup gampang di mengerti tapi sukar diberikan arti yang pasti…
Hati-hati, saat aku berjalan untuk menjalani satu perjalanan. Tetntunya perjalanan kali ini bukan sebuah perjalanan yang mudah, juga bukan juga sukar untuk di jalani. Lantas dibagian jalan yang sebelah mana dan di jarak yang keberapa kehati hatian itu bisa menjadi bukti. Bukankah saat aku terjatuh dan menabrak satu rintangan hingga akhirnya aku kembali terpental kau hanya akan berbicara, “aku sidah bilang sebelumnya kau musti hati hati” dan disisi lain aku sendiri tidak menjelaskan dibagian bagian yang mana aku musti berhati hati.
Aku seperti tak punya harga diri saat aku berjalan kehadapan illahi, tanpa tau bagaimana maengawali tanpa tau tempat tujuan yang nanti akan kutemui. Jika ia benar bersembunyi dalam diri yang jelas yang ada di dalam diri hanya sebagi sebuah representasi akan keberadaan Nya. sebab “INI” bukan berarti “INI”,” iTu” bukan berarti “iTu”. “Dia” bukan berarti “Dia”, “Aku” Bukan berarti “Aku” dan yang ditemui hanya istilah “bukan berarti” yang menjadikan satu pengingkaran didalam diri.
Keberadaan akan Ada Nya hanya ada pada pernyataan-Nya.