Sabtu, 24 November 2007

lainnya

nama nama nama hikzz

Pada setiap epos sejarah dunia dimanapun, kita hanya akan mengenal dan menemukan nama-nama orang besar yang akan menjadi juru selamat. seperti pelita tanpa bahan bakar yang tidak akan dapat menyala. sejarah dunia pada saat ini hanyalah sejarah ”orang-orang besar” ( Thomas Carlye 1963:17 ). Napoleon, Karl Marx, Enstain, Julius Caecar, Hitler, Plato, Herodotus, Descartes, Lenin dll. hanyalah sederetan nama-nama yang sampai saat ini masih bisa kita dengar. tidak hanya itu dalam peninggalan peradaban terdahulu nama-nama orang besar yang memiliki keahlian dan kekuasaan masih kita kenal hingga saat ini. Tembok Cina yang membentang di daratan Cina, kita hanya akan mengenal Dinasti Ming. Candi Borobudur yang berdiri kokoh di Pulau Jawa atau bahkan Candi Prambanan. Ke dua bangunan masih berdiri kokoh sampai saat ini, kita hanya akan tahu Wangsa Syalendra dan Wangsa Sanjaya sebagai golongan elit penguasa yang mendirikan bangunan tersebut. Sementara kita tidak akan mengenal nama-nama tukang yang sudah bersusah payah membuat bangunan megah tersebut.
Keberagamana budaya yang tersebar di Indonesia mulai dari Sabang sampai Merauke secara tidak langsung menjadikan Bangsa Indonesia sebagai sebuah Bangsa yang memiliki kekayaan yang tentunya tidak dimiliki oleh bangsa lain. Sebagai sebuah wilayah kepulauan yang terbagi dalam wilayah Propinsi, memiliki hamparan perairan laut yang luas menjadikan karakter serta tradisi masyarakat yang mendiami setiap pulau yang ada di Nusantara berbeda. Dalam perkembangan kebudayaan yang berbeda-beda ini kemudian dimaknai sebagai sebuah masyarakat yang multi-etnik.
Kabupaten Tangerang sebagai salah satu wilayah dari Propinsi Banten, merupakan wilayah dengan kepadatan penduduk yang cukup banyak dengan jumlah penduduk tahun 2004 mencapai 3.345.523 jiwa yang masuk hak pilih, terbagi ke dalam 26 Kecamatan dan 320 Desa / Kelurahan ( BPS Kab Tangerang 2004 ). Di dalam sejarahnya, wilayah Tangerang sendiri awalnya masuk ke dalam Kerajaan Taruma Negara. kemudian menjadi bagian dari wilayah kekuasaan Kerajaan Padjajaran, lalu Jayakarta yang menjadikan wilayah Tangerang sebagai daerah perbatasan dari wilayah Kesultanan Banten. Pada masa Kolonial yang menjadikan Jakarta sebagai pusat pemerintahan, wilayah Tangerang dibagi menjadi 4 wilayah Kewedanaan yakni Mauk, Tangerang, Curug dan Balaraja ( Dinas Keb dan Permusiuman dki: 2003 ). sisa-sisa kepercayaan baik sejak dimulainya kerajaan Taruma Negara maupun kerajaan Padjajaran dengan agama Hindu-Budha, hingga Kesultanan Banten dengan ajaran Islamnya, memberikan pengaruhnya sampai saat ini dan di dalam beberapa kelompok masyarakat masih banyak yang menggunakan ajaran leluhur dengan menganggap ajaran dari kerajaan Padjajaran ataupun Taruma Negara ( Hindu-Budha )sebagai ajaran leluhur dibeberapa kelompok masyarakat Tangerang.
Perda No. 14 Tahun 1978 membagi tiga wilayah Kabupaten Tangerang yang disesuaikan dengan karakter masyarakat serta kondisi geografis masing-masing wilayah. pertama diorientasikan sebagai daerah kependudukan, perniagaan dan jasa mencakup wilayah Tangerang bagian selatan yang berbatasan langsung dengan Jakarta ( yang tahun 2007 resmi terpisah dengan Kab Tangerang ). wilayahnya mencakup Kecamatan Pamulang, Ciputat, Serpong dll. wilayah kedua sebagai wilayah tengah lebih diorientasikan kepada perkembangan dunia usaha, industri besar maupun kecil dan kependudukan mencakup Kecamatan Tigaraksa, Cikupa, Balaraja, Pasar kemis, Cisoka dll. sementara untuk wilayah bagian utara lebih diorientasikan pada sektor perikanan, kelautan serta pertanian mencakup Kecamatan Keresek, Keronjo, Rajeg, Mauk, Teluk Naga dll. ( yang sedang dipersiapkan untuk membentuk sebuah kabupaten baru dengan nama Tangerang Utara )
Pada masyarakat yang mendiami wilayah Kecamatan Balaraja, yang sebagian wilayahnya dijadikan sebagai wilayah pertanian, penghijauan serta industri dalam kelompok kecil masyarakatnya masih memegang dan menjalankan ajaran leluhur ( nenek moyang ) sebagai sebuah tradisi masyarakatnya. Walaupun sebagian besar ajaran tersebut sudah mengalami pergeseran karena besarnya pengaruh ajaran islam yang dianut sebagian mayoritas masyarakat di Kecamatan Balaraja. Akan tetapi secara tidak sadar ajaran-ajaran leluhurnya masih digunakan dalam keseharian. Misalnya saja hal ini bisa di lihat dari prilaku masyarakat saat seorang anak pergi merantau atau pindah rumah biasanya orang yang pindah rumah tersebut membawa sedikit tanah dari rumah sebelumnya kemudian ditaburkan di rumah yang baru.
Ajaran tersebut juga digunakan dalam memberikan nama pada seorang anak yang dilahirkan. hal ini bisa dilihat baigaimana saat seorang bayi yang di beri nama kemudian mengalami sakit-sakitan atau dalam pertumbuhannya terhambat dianggap tidak cocok dengan nama yang disandang. Seperti yang diungkapkan Reni Sukma dalam bukunya nama terbaik bayi menurut Numerologi, ( Sukma, 2006:3 ). Seorang bayi yang selalu sakit-sakitan setelah diberikan nama oleh orang tuanya, dipercayai oleh masyarakat si anak yang sakit-sakitan tersebut dianggap tidak mampu menyandang nama yang diberikan oleh orang tuanya ( namanya terlalu berat/keberatan nama ) sehingga nama yang sudah diberikan tersebut harus di ganti dengan nama yang lain agar tidak sakit-sakitan. Anggapan ini di perkuat oleh masyarakat dengan adanya kepercayaan akan wilayah ruang ( kosmologi ) dan keberadaan primbon di masyarakat sebagai sebuah pegangan untuk melihat baik-buruknya sebuah nama yang di sandang.
Menurut Ida Sundari Husain dalam ”Semiotika Budaya” ( 2004 : 266 ) mengatakan Nama adalah tanda. Sebagai sebuah unsur, nama yang disandang oleh setiap orang sebenarnya “berdiri sendiri”, akan tetapi kondisi sosial budaya dalam masyarakat dengan tradisi yang berlaku di lingkungan sosialnya memungkinkan keberadaan akan nama memiliki keterkaitan yang erat baik dengan kepercayaan, sosial budaya maupun dengan kosmologi yang berlaku dalam sebuah wilayah masyarakat tertentu. sebagai sebuah kata yang berdiri sendiri maka ia akan memiliki kaitan "yang lebih" dibandingkan dengan unsur lain yang unsurnya lebih sedikit. sebab bagaimanpun juga, sebuah kata akan mengorbankan "hal lain" yang berada di balik kata itu sendiri. sebagai sebuah tanda keberadaan nama tentunya sangat terbuka dan dapat dibaca. Maka akan sangat memungkinkan tanda tersebut akan mendapat interpretasi yang beragam. dan dengan adanya keterbukaan ini mengharuskan sebuah kata tidak bisa di pandang sebagai sebuah tanda yang tertutup dan hal ini sama sekali bukan merupakan sebagai sebuah identitas yang baku.( Cavallaro 2001 : 7 )
Seorang bayi yang belum lama dilahirkan, dianggap oleh masyarakat sebagai manusia yang masih suci, oleh karenanya bila anak yang sakit-sakitan atau terhambat pertumbuhannya ( setelah diberikan nama ) masyarakat menganggapnya si bayi merasakan ketidak-cocokan dengan nama yang sudah diberikan, sehingga si bayi memberikan reaksi dengan sakit-sakitan atau terhambat dalam pertumbuhan tubuhnya. Masyarakat mengenal sebuah nama sebagai sebuah doa yang diberikan orang tua, sebgai identitas diri, sebagai sebuah status sosial dan sebagai sebuah warisan yang diberikan oleh orang tua kepada anaknya. Masyarakat yang mendiami Kecamatan Balaraja juga ada yang mengangap nama sebagai pedoman hidup. hal ini memang banyak tidak di sadari bagaimana sebuah nama menjadi patokan akhir akan perjalan hidup seseorang dan di percaya oleh masyarakat. unsur-unsur yang terkandung dalam setiap nama akan membawa sifat-sifat kita ke arah ( arti dari nama yang disandang ) dengan melewati unsur-unsur yang terkandung dalam setiap nama. unsur dalam nama tersebut yang berbentuk sifat serta sikap diri seseorang dalam menjalankan kehidupan sehari-hari secara langsung akan dirasakan baik secara sadar maupun tidak sadar oleh setiap orang.
Mengenai hal anak sakit-sakitan dianggap karena keberatan nama, Seperti yang dikemukakan Mircea Eliade dalam bukunya: kosmologi bergerak kembali yang abadi ( 2002 : 7 ) menjelaskan, setiap fenomena yang ada di bumi baik yang sifatnya abstrak maupun yang kongkrit sesuai dengan istilah langit. istilah transenden yang tidak dapat dilihat dengan ide dalam artian platonik: setiap hal, setiap pengertian, menampilkan dirinya sendiri degan aspek ganda yang berupa menok ( langit yang bisa dilihat ) dan getok ( langit yang tak bisa dilihat ) serta bumi kita berkesesuaian dengan bumi yang ada di langit. setiap kebijakan yang dilakukan disini memiliki padanannya di langit yang merupakan realitas sejati. pendeknya, penciptaan itu hanya bersifat duplikat.
Untuk melihat baik-buruknya nama biasanya masyarakat menggunakan ilmu palak atau dengan sebuah Primbon yang digunakan oleh masyarakat. hal ini biasanya digunakan Sebagai pertimbangan akhir setelah si bayi yang diberikan nama mengalami sakit-sakitan atau terhambat dalam pertumbuhannya. seperti yang diungkapkan Jakob Soemardja dalam bukunya Arkeologi Budaya Indonesia ( 2002 : 11 ) menjelaskan pada masyarakat tradisi, primbon dianggap sebagai sebuah bagian yang tidak terpisahkan dari keseluruhan tata ruang kosmos yang berhubungan dengan manusia. oleh karenanya waktu yang selalu diidentikan dengan tata tertib kosmos yang "mewaktu" hal ini tidak akan dapat di pahami oleh manusia tanpa melihat ruang. sebagai sebuah catatan-catatan kosmik tentang "waktu" makna kata "neptu" merupakan kata kunci dari primbon yang ada di jawa. "kapan" itu akan menentukan atau memaknai "ruang" kapan relativ dan kapan subjektif setiap manusia. Sehingga wajar bila memberikan nama primbon dijadikan acuan untuk melihat baik-buruknya nama.
Dalam hitungan primbon sebuah nama yang disandang setiap orang akan diketahui sifat serta kecenderungan karakter seseorang, hari baik atau buruknya seseorang juga dapat di ketahui dan bahkan dengan menggunakan primbon juga biasanya melihat kecocokan nama untuk melakukan sebuah hubungan perkawinan baik untuk mencari hari yang baik maupun menetapkan tanggal atau jam pelaksanaan sebuah pernikahan. Hal ini memiliki tujuan yang baik karena untuk kepentingan kesejahteraan ataupun kebahagiaan seseorang dalam menjalankan hidup berumah tangga. Dalam hal dan keperluan yang lain Dengan adanya primbon ini banyak juga orang-orang mengunakan hitungan primbon untuk melakukan hal yang tidak baik ( mencuri atau melukai seseorang ). biasanya para pencuri menggunakan hitungan primbon agar tidak tertangkap, karena primbon juga menjelaskan kearah sebelah mana seorang yang mau mencuri tersebut berangkat agar tidak di ketahui dan hari apa saja sebuah kampung mengalami hari yang na’as, biasanya perhitungan tersebut dilakukan dengan melihat primbon.
Keberatan nama biasanya dilihat dari arti yang dikandung dalam nama itu sendiri yang disesuaikan dengan keadaan sebuah keluarga. serta di perkuat oleh kepercayaan masyarakat tradisi akan kesesuaian dalam hal pengartian sebuah nama dengan kosmologi yang digunakan. pengunaan nama Segoro, Gusti Allah, Dewi Sangga Langit atau yang lainnya. bagi orang tua yang masih memegang ajaran tradisi biasanya tidak memperbolehkan mengenakan atau menyandang nama tersebut karena nama tersebut dianggap berat. Bagi yang memaksakan dengan nama Gusti Allah misalnya walaupun ternyata si bayi yang di beri nama tersebut tidak sakit-sakitan akan tetapi masyarakat akan menertawakan orang yang memberikan nama pada anak tersebut, karena dianggap tidak etis oleh masyarakat ( Ayatrohaedi, 1996:89 )
Dalam Hal yang lain, ketika seseorang yang mengganti namanya dari yang nama pasaran atau sangat tidak asing di masyarakat kemudian mengganti namanya dengan nama yang dianggap berat oleh masyarakat. seperti yang terjadi pada Nia ( nama pendek ) yang mengganti namanya menjadi Tri Buana Tunggal Dewi. pergantian nama ini karena Nia sendiri pada saat remajanya sering mangalami sakit-sakitan dan sering mengalami trance. bagi orang tua yang mengerti aturan pemberian nama hal ini tentunya dianggap berat mengingat selain arti juga nama tersebut pernah digunakan oleh seorang Raja di Jawa. hanya saja yang terjadi kemudian setelah Nia mengganti nama dengan Tri Buana Tunggal Dewi ia tidak mengalami sakit-sakitan lagi bahkan sekarang beliau malahan bisa menyembuhkan orang yang sakit dan dekat dengan dunia mistik ( paranormal ) pada saat penggantian nama tersebut ia mengungkapkan selain karena dirinya mampu untuk mengenakan nama tersebut juga karena bisikan untuk menganti namanya pada saat mengalami sakit-sakitan.
Frans Sartono ( kompas: 23 april 2006) menyebutkan Dalam perkembangannya, sebuah nama yang di sandang setiap orang memiliki penyesuaian seiring dengan perkembangan kebudayaan maupun sosial masyarakat dan selalu mengikuti jamannya. pada jaman Hindu-Budha yang dijadikan sebagai sebuah agama resmi kerajaan. penggunaan nama di beberapa kelompok elit sudah banyak yang mengadaptasi dari nama Dewa atau Dewi yang ada di Hindu-Budha. selain itu juga penggunaan nama atau gelar sudah bisa di lihat dan hal ini kemudian yang menjadi sebuah pembeda dan petanda dari tatanan kelas sosial yang ada. tidak hanya itu pengambilan nama-nama binatangpun sudah banyak di sandang seperti misalnya Gajah Mada, Hayam Wuruk, Kuda Panoleh dll. pemaknaan serta harapan orang yang memberikan nama tentunya sudah ada pada masa tersebut. banyaknya pengunaan nama-nama yang mengambil nama dari lingkungan alam dimana ia tinggal harapannya lebih mengarah pada kekuatan serta jiwa yang kuat seperti binantang tersebut, mengingat pada masa tersebut daerah agraris serta besarnya alam masih cukup luas di wilayah Nusantara ini.
Masuknya agama langitan ke Indonesia serta makin meluasnya ajaran tersebut di tanah Jawa khususnya selain mengubah pandangan masyarakat akan nilai yang dianutnya juga mengubah persepsi tentang pemberian nama-nama yang berbau agamais seperti Islam, Kristen sangat marak di sandang oleh setiap orang. Hal ini nama menjadi pasaran karena banyaknya yang mengunakan / menyandang nama yang sama dalam setiap kelompok masyarakat. misalnya nama abdul yang di sandang lebih dari 3 orang.kita pun harus membedakan menjadi Abdul Ompong yang disesuaikan dengan keadaan pisiknya yang giginya ompong ( karena giginya ompong) atau Abdul Gendut yang memang secara pisik tubuhnya gemuk ( Ayatrohaedi, 1996: 88 ).
Memasuki era moderen di Indonesia serta besarnya pengaruh media terhadap masyarakat secara tidak langsung memberikan andil dalam pergeseran persepsi tentang pemberian nama. hal- hal yang berbau tradisi serta penggunaan primbon sebagai acuan dalam memberikan nama sudah tidak terlalu diperhatikan. Larsano, ( Kompas : 23 april 2006 ) juga mengungkapkan ”bagi sebagian masyarakat moderen pemberian nama pada anak lebih berorientasi pada pengucapan serta figur yang diharapkan oleh orang tua. walupun masyarakat moderen tidak terlalu memegang kaidah pemberian nama yang digunakan oleh masyarakat terdahulunya akan tetapi makna, nilai serta harapan masih mengiringi sebuah nama yang sudah diberikan”.
Sudiro dalam bukunya misteri nama ( 2006 : viii ) menjelaskan Pemberian nama tidak semata-mata hanya sebatas sebutan saja yang persis dalam artian bahasa sansekerta yakni nama yang diartikan sebagai sebutan. jauh dari pada itu, pemberian nama yang diberikan oleh orang tua kepada anaknya selalu memiliki tujuan dan maksud tertentu tujuan tersebut diantaranya sebagai sebuah do’a yang diberikan oleh orang tua juga sebagai sebuah harapan dari orang tua. Sementara bagi orang yang menyandang nama tersebut sebuah nama yang sudah diberikan oleh orang tua tentunya akan menjadi sebuah kebanggan dalam menyandangnya ( Sukma, 2006 : 1 )
Mengingat setiap orang selalu menggunakan nama ( bahkan lebih mengunakan satu nama ) selain sebagai identitas diri juga sebagai sebuah penanda akan keberadaan dirinya baik di masyarakat ataupun pada kehidupan dunia, maka sudah sepatutnyalah pembahasan akan sebuah nama yang dikaji baik lewat makna ataupun lewat pemahaman kita dengan latar belakang budaya untuk memaknai kembali tentang kebradaan nama diri yang di sandang setiap orang.
Sebagai seorang individu yang ingin mengenal lebih jauh akan tradisinya.sudah barang tentu keadaan seperti ini menjadi hal yang sangat menarik untuk di ketahui lebih jauh akan keberadaan serta pemaknaan dari nama yang di sandang oleh setiap orang. mengingat besarnya pengaruh moderenisasi yang menghantam masyarakat Tangerang khususnya, hal ini menjadi mungkin sebagian besar masyarakat akan tercabut dari tradisinya bahkan akan terasing dari ajaran-ajaran leluhurnya, ditambah lagi kebiasaan masyarakat yang tidak terbiasa menulis mengenai tradisi masyarakat yang tinggal di Kecamatan Balaraja tidak mungkin kehidupan masyarakat Tangerang ( Balaraja khususnya ) yang sampai saat ini sudah berada di bagian alam bawah sadar masyarakatnya tidak akan bertahan dan di gerus besarnya arus moderenisasi sehingga ahirnya baik sebuah ajaran ataupun kepercayaan hingga sejarah desanya yang diajarkan oleh nenek moyang mereka akan menghilang begitu saja tanpa bekas.
Mengingat waktu kelahiran sebagai sebuah takdir yang sudah ditentukan oleh waktu ( Jakob, 2002: 88 ) sementara nama yang menjelaskan perjalanan kehidupan seseorang. mungkin sudah selayaknya kita mengetahui dan memahami baik dalam proses pemberian nama, faktor faktor yang dijadikan acuan atau yang mempengaruhi maupun makna yang terkandung di dalam nama diri akan pemberian nama tersebut. sebagai sebuah pemahaman yang di percayai oleh masyarakat yang berada di Kecamatan Balaraja yang menjadi bagian wilayah Kabupaten Tangerang.

Tidak ada komentar: