Rabu, 24 Desember 2008

religi

Sebuah kenangan di tanggal kelahiranku
Bersembunyi sajalah, tapi ingat jangan bawa bawa yang lain biar gak ketauan. Karena terkadang sebuah masalah itu selalu membuntuti, jadi ada baiknya tinggalkan saja perasaan bersalahmu dengan menyimpan dirimu agar kau bisa melenggang pergi, atau jika kau tak sanggup meninggalkannya maka simpan saja hati dan segala pikiranmu agar kau bisa tau jelas akan permasalahan yang di hadapi.
Baik buruknya pada akhirnya harus kita jalankan, karena Ia bukan sebuah pilihan yang berada di hadapan dengan posisi sejajar hingga akhirnya kita menganggap bisa memilihnya. Pastinya ia berada dalam posisi yang berkesinambungan dan akan terus berkesinambungan. Konsekwensinya saat kita bisa ngelewati kesedihan maka kebahagiaan jelas yang dirasakan dan begitu juga sebaliknya saat kita bisa ngelewati kebahagiian jelaslah sudah klo hal tidak menyenangkan sedang kita rasakan.
Mungkin terlalu banyak yang musti kita kenali hal hal yang ada dalam diri, sehingga kadang kita lupa bagaimana memposisikan diri kita dan merasakan serta menerima sebuah kejadian yang menimpa kita. Perasaan sabar tidaklah cukup sebelum kita bisa memahami dan memosisikan masalah pada sebuah tempat yang ada dalam hati kita. Entah di dalam otak, dalam pikiran ato di dalam hati sebagai sebuah terminal pertemuan yang akan berikan perasaan berdebar.
He he…aneh..! emang sebenernya apa sih masalahnya…? Kok sampe segitunya yah mikir dan ngejelasina. Yah kadang seperti itulah aku, seolah aku nggak tau dengan siapa aku bicara. Sampe sampe musti repot ngejawab seperti itu, padahal masalahnya aja nggak tau. Sok tau…itu salah satu sikapku sepeti itu jelasnya dan entah ini sebuah pengakuan ato sebuah keresahan saat pikiran tak bisa lagi menampung segala bahan materi yang dirasakan oleh hati.
Lantas apa yang sebenarnya yang harus aku tuliskan, agar aku bisa ngeisahkan sebuah perasaan yang sudah jelas aku rasakan. Apakah tentang diri, tentang apa yang terjadi, tentang apa yang musti di cari, tentang apa yang musti di pahami ato tentang apa…? Sebuah hal yang belum juga aku bisa jelaskan dan aku mengerti.
Pastinya bukan dengan sebuah keraguan aku menuliskan ini, hanya keyakinanku pada sebuah jemari yang terus menari tak henti menekan huruf-huruf dan merangkainya hingga menjadi satu kalimat yang bisa di baca ( semoga aja bisa di mengerti ) keyakinan ini juga ibaratnya seprti seorang ibu yang tak pernah ragu untuk melahirkanku dan mengasuhku. Sebagai sebuah kejadian yang bisa aku pahami tapi hal itu aku yakini walau aku nggak merasakan keyakian yang di alami oleh ibuku.
Ingatanku akan cerita masa bayiku sudah jelas dapat di mengerti oleh pikiranku, saat mata, telinga dan semua jenis indra belum berfungsi, tapi ibuku sudah tau apa yang aku inginkan pada saat itu, air susu sebagai jawaban akan keburuhan dari rasa laparku, hanya dengan tangisanku tak lama ia datang dan mendiamkanku hingga kembali aku terlelap memejamkan mata. Hanya itu dan itu awal kehadiranku, tanpa malu tanpa ragu semuanya seperti sudah menjadi kehendaknya. Cuman tinggal menjalankan, lantas apa sih susahnya ?
Semua sudah terberi, semua sudah hadir dalam kehidupan, semua sudah membawa bekal rezeki, jalan hidup yang sudah di aturnya. Lantas apa lagi ? cuman cukup menjalankan tanpa modal sedikitpun untuk menyaksikan segala kejadian kejadian yang bisa kita rasakan dalam diri. Apakah kita masih akan mencari sesuatu hal yang belum pernah kita kenali? Ato mencari sesuatuhal yang hanya bisa kita temui dengan merasakannya ? sayangnya kita tak pernah tau dan tidak pernah berjalan di negeri kematian sebagai sebuah negeri yang dirasakan aneh ( aneh karena kita tak mengenalnya ) lantas saat kita berada di sana apakah kita akan sadar tanpa melewatinya. Hanya bekal keyakinan saat semuanya sudah terlewati baru akan kita pahami akan apa yang sudah terjadi.
Yah…negeri kematian, negeri kematian. tanpa bisa mengungkapkan dengan bahasa tapi bisa merasakan dengan sebuah kejadian yang akan di alami. Menjalaninya dan menikmati alam sekitarnya tanpa bisa memperbincangkan tak bisa memperdebatkan. Disanalah jalan keabadian dari sebuah jalan ketiadaan, disanalah sebuah jalan perenungan tanpa bisa membenearkan dan menyalahkan kehidupan.
Awalnya aku bertanya tentang asalku, karena bila diri ini sebenarnya terpisah antara jiwa dan raga, sebagai salah satu bukti yang bisa kita pahami saat kita menyaksikan sebuah peristiwa tentang kematian. maka asal raga jelas keluar dari rahim ibu terus nenek sampe seterusnya hingga sapai pada sebuah kisah tentang penciptaan manusia pertama yakni adam dan hawa yang dalam kisahnya hawa berasal dari tulang rusuk adam dan adam diciptakan dari bahan empat unsur materi tanah,air, api dan udara. Sementara saat aku bertanya tentang asal jiwaku dimana dia bersembunyinya sebelum aku berada dalam rahim ibuku..?
seperti itulah sebuah pertanyan pasti akan membutuhkan sebuah jawaban yang bisa meyakinkan diri kita bahwa itulah adanya. Dari rasa sir ( sebuah rasa yang menginginkan seseorang untuk saling mendekat dan mendekap hingga gairah yang mengalir dalam darah bisa tercurah ) disanalah salah satu asal aku sebelumnya, di sebuah ruang keinginan tanpa berpikir untuk merencanakan sebuah hasil. Di sebuah ruangan yang tak tau merasakannya musti bagai mana dan musti pakai rasa yang mana yang ada di dalam diri kita. Tak ada kemampuan dalam diri ini untuk menjelaskan semuanya hingga tak ada lagi pertanyaan pertanyaan yang akan membingungkan.
Hanya bisa di pikirkan dan di renungkan sebuah kejadian yang telah di lewati
Tak akan pernah bisa ingkari, sebuah kejujuran yang mendorong bibir ini untuk berkata
Sementara tanganku yang tak jemu untuk menuliskan kata kata yang bisa di baca
Semua sudah menjelma
Dan itu baik adanya.
Tangan ini yang menuliskan. ketidak tahun miliku semoga saja hal ini bukan sebuah kebenaran, sebeb sejatinya aku nggak pernah tahu.

Tidak ada komentar: