Rabu, 24 Desember 2008

religi

antara aku
Waktu yang akan memastikan sebuah kejadian, bila setiap orang memiliki kebenaran maka apakah kebenaran yang di miliki seseorang akan dibenarkan juga oleh orang lain. Sementara mutlaknya kebenaran tidak akan melihat orang yang akan memberakan, ia akan tetap menjadi sebuah kebenaran walau tanpa ada yang membenarkan.
Memahami dan mengisi ruang ruang kosong yang ada dalam diri, ibarat bahasa yang tak memerlukan kata. Ia ada saat ucapan tak bisa menjelaskan dan menemukan kata yang pas untuk digunakan, yah itulah salah satunya bahasa kejadian yang hanya bisa dirasakan dan di saksikan. Setiap kata yang beda pada akhirnya akan membawaa kita pada sebuah tempat yang berbeda juga. Lantas kata yang seperti apakah yang bisa dijadikan sebagai sebuah ciri akan keberadaan manusia ? bukankah semua dalam realitasnya manusia memiliki beragam bahasa yang berbeda dan dapat membedakan identitasnya ? tidak ada kemustahilan bagi pikiran untuk memahami hal seperti ini, dengan sebuah logika pastinya tidaklah mungkin jika bentuk dan wujud manusia seperti yang kita lihat memiliki ciri yang sama akan memiliki kata yang beda.
Pernah suatu waktu dalam perbincangan saya dengan seorang kawan di teras koskosan memikirkan tentang satu kata yang memiliki arti sama dengan kata yang sama di bumi ini. Dan samai saat ini akhirnya belum juga aku menemukan jawaban tersebut. Samai sampai aku tak lagi memikirkan akan pertanyaan yang terjadi dalam perbincangan tersebut, maklum sajalah bila saya tak lagi mengingat pertanyaan tersebut karena hal itu sudah terjadi beberapa tahun yang lalu.
Dalam sebuah keimpulan awal, nyatanya aku tak menemukan jawaban akan tetapi hanya menemukan kata-kata dalam bentuk kesipatan untuk mengungkapkan sesuatu hal yang kemudian terexspresikan dengan tak lebih dari tiga huruf saja. Misalkan saja kata oh, uh, em dan yang lainnya. Sebagai huruf vocal kata tersebut ternyata bisa dikategorikan sebagai salah satu ungkapan yang menyimbolkan kesifatan yang ada dalam diri ini.
He he konyol juga yah, padahal untuk membuktikanya aja belom pernah. Kok bisa bisanya memberikan sebuah jawaban yang belom pernah dibuktikan. Jelasnya bila kita menggunakan sebuah ajaran kegamaan kata kata tersebut sudah sangat jelas digunakan sebagai sebuah ungkapan dari ketiadaan diri dan menganggap hal yang terjadi adalah sesuatu hal yang sangat diwajarkan dan sangat biasa. Dengan sebuah alibi tentunya saat pemahaman tentang agama sudah beres semua, saat tidak ada lagi keanehan akan kejadian lantas kata yang seperti apa yang akan kita gunakan untuk mengisi ruangan tersebut. Jelasnya sudah tidak lagi ada kata yang bisa digunakan( bukan berarti kata kata yang sudah ada tidak lagi berlaku).
Akan selalu kita alami, sesuatu hal yang aneh saat logika tidak lagi mampu menerka maka pikiran akan menjelaskannya sampai kita menegrti dan menganggukan kepala sambil bibir ini tersenyum. Disanalah klo kata orang orang yang sudah memahami arti sebuah perjalanan kehidupan menganggap ketiadaanlah yang dirasakan, seperti halnya saat kita mengerti dan memahami makna tertawa. Kita akan merasakan dan bila mengkategorikan ia nggak masuk kedalam bahagia, senang ato gembiranya hati ini, lantas klo kita pikirkan ada apa sih di dalam ketawa..?

Tidak ada komentar: